Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
I. PENDAHULUAN<br />
1. LATAR BELAKANG<br />
Dalam era Orde Baru berkembang dua ciri pemerintahan, yaitu sistem sentralistik <strong>dan</strong><br />
otokratik yang satu sama lain saling memperkuat. Pada dasarnya kedua sistem itu tidak<br />
disukai oleh masyarakat. Oleh karena itu, pada 1998 lahir gerakan reformasi yang<br />
berusaha mengubah sistem pemerintahan otokratik ke pemerintahan yang lebih<br />
demokratik. Usaha ini berhasil dengan cepat melalui jatuhnya Presiden Suharto.<br />
Namun usaha untuk mengubah sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi agaknya<br />
memerlukan langkah terencana dalam kurun waktu yang panjang.<br />
Kelahiran UU No. 22, 1999 tentang Pemerintahan <strong>Daerah</strong> <strong>dan</strong> UU No. 25, 1999<br />
tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat <strong>dan</strong> <strong>Daerah</strong> merupakan<br />
langkah baru untuk membenahi penyelenggaraan pemerintahan. Kedua UU itu<br />
diharapkan dengan cepat dapat mengatur pelaksanaan desentralisasi <strong>dan</strong> otonomi yang<br />
lebih luas bagi daerah. Namun, banyak pengamat menilai bahwa UU tersebut dibuat<br />
dengan“tergesa-gesa,” karena itu pelaksanaannya menghadapi banyak hambatan.<br />
Kendala yang dihadapi bukan hanya menyangkut perangkat peraturan perun<strong>dan</strong>gan<br />
yang lemah, tetapi juga karena sikap mental top-down yang masih melekat di<br />
lingkungan pejabat, baik pusat maupun daerah, dalam mengatur berbagai aspek<br />
kewenangan pemerintahan. Selama ini aparat pemerintah lebih banyak berprilaku<br />
memerintah daripada melayani publik. Birokrasi pemerintahan menjadi alat untuk<br />
mengontrol rakyat agar sikap kritis terhadap pemerintah tidak berkembang menjadi<br />
oposisi. Oleh karena itu, banyak pihak meragukan keberhasilan peningkatan pelayanan<br />
publik melalui kebijakan desentralisasi <strong>dan</strong> otonomi daerah. Keraguan ini timbul karena<br />
jabatan birokrasi pemerintahan sekarang kebanyakan masih dipegang oleh mereka yang<br />
pada era orde baru juga adalah pelaksana pemerintahan sentralistik <strong>dan</strong> otokratik.<br />
Namun demikian, meskipun ada banyak argumen bernada pesimis terhadap<br />
pelaksanaan desentralisasi <strong>dan</strong> otonomi daerah, tuntutan daerah untuk melaksanakan<br />
desentralisasi <strong>dan</strong> memiliki otonomi luas secepatnya makin hari makin menguat.<br />
Alasannya, penyelenggaraan pemerintahan di negara dengan wilayah luas <strong>dan</strong><br />
penduduk besar, seperti Indonesia, sangat sulit dilakukan dengan pendekatan<br />
sentralistik. Di satu sisi, sentralisasi cenderung memberi kewenangan yang terlalu besar<br />
terhadap pejabat pusat, di sisi lain, lingkup pengawasan jalannya pemerintahan di<br />
daerah lemah. Kedua hal itu, agaknya telah menjadi penyebab suburnya korupsi,<br />
kolusi, <strong>dan</strong> nepotisme di Indonesia selama ini. Sementara itu, penangguhan<br />
pelaksanaan desentralisasi <strong>dan</strong> otonomi daerah dikhawatirkan akan mendorong<br />
pengelolaan pemerintahan di Indonesia kembali ke sifat sentralistik <strong>dan</strong> otokratik.<br />
1 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2002