06.04.2013 Views

Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah

Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

pusat menjadi pegawai daerah. Khusus untuk kasus NTT, faktor tersebut ditambah lagi<br />

dengan a<strong>dan</strong>ya relokasi ribuan pegawai negeri eks-Timti.<br />

Sebagai konsekwensi dari masalah tersebut, pengeluaran untuk belanja pembangunan<br />

terpaksa berkurang lebih dari setengahnya. Jika pada TA 1999/2000 <strong>dan</strong> TA 2000<br />

Pemprop NTT masih mampu mengalokasikan belanja pembangunan sebesar Rp120,3<br />

milyar <strong>dan</strong> Rp97,4 milyar, pada TA 2001 ini tinggal Rp42,0 milyar. Menghadapi<br />

ketersediaan <strong>dan</strong>a pembangunan yang makin terbatas, tidak ada jalan lain bagi<br />

Pemprop NTT kecuali mengalokasikan <strong>dan</strong>a tersebut kepada sektor yang mempunyai<br />

prioritas tinggi. Secara umum pemprop menyatakan bahwa alokasi anggaran<br />

pembangunan tersebut akan dipergunakan dengan batasan berikut:<br />

1. Pemda propinsi hanya mengerjakan proyek tertentu yang sifatnya mengisi celah<br />

yang tidak dikerjakan oleh kabupaten. Misalnya, proyek-proyek pembangunan di<br />

daerah perbatasan.<br />

2. Dana propinsi lebih diarahkan pada usaha memancing kerjasama investasi dengan<br />

pihak luar negeri.<br />

3. Memanfaatkan <strong>dan</strong>a dekonsentrasi untuk kegiatan pembangunan bi<strong>dan</strong>g tertentu.<br />

Keterbatasan <strong>dan</strong>a pembangunan mengakibatkan beberapa sektor pelayanan publik<br />

mengalami pengurangan alokasi anggaran secara signifikan. Alokasi belanka sektor<br />

kesehatan baik di tingkat propinsi maupun kabupaten, misalnya, untuk TA 2001<br />

menurun dibanding dengan anggaran pada tahun 1999/2000 (lebih lanjut lihat Bab IV<br />

Bagian 4). Dengan makin kecilnya <strong>dan</strong>a yang tersedia, otomatis menyebabkan kualitas<br />

pelayanan kesehatan kepada publik menjadi menurun, terutama pada ketersediaan<br />

obat-obatan. Anggaran untuk obat-obatan menurun drastis, dari Rp1,5 miliar menjadi<br />

hanya Rp300 - 400 juta.<br />

Kontras dengan yang dialami oleh sektor kesehatan <strong>dan</strong> sektor pelayanan publik<br />

lainnya, alokasi anggaran untuk DPRD justru meningkat drastis dibandingkan dengan<br />

periode sebelumnya. Pada TA 1999/2000 alokasi belanja untuk DPRD Rp2,1 milyar.<br />

Jumlah ini pada TA 2000 meningkat menjadi Rp4,2 milyar, <strong>dan</strong> pada TA 2001<br />

meningkat lagi menjadi Rp7,5 milyar. Salah satu penyebab peningkatan alokasi<br />

belanja ini adalah untuk mengakomodir tuntutan kenaikan gaji para anggota dewan.<br />

Pada saat ini gaji mereka meningkat menjadi Rp5,1 juta/bulan, ditambah dengan<br />

berbagai tunjangan seperti tunjangan perumahan, transportasi, <strong>dan</strong> pengobatan.<br />

Jumlah keseluruhan penerimaan (take home pay) anggota dewan mencapai Rp7,1 juta<br />

per bulan. A<strong>dan</strong>ya fenomena demikian, ditambah dengan naiknya berbagai tunjangan<br />

pegawai pemda lainnya, menyebabkan masyarakat kurang simpati terhadap kebijakan<br />

otonomi daerah. Salah seorang tokoh masyarakat di Desa Mbatakapidu, Sumba Timur,<br />

misalnya menyatakan bahwa kebijakan pelaksanaan otonomi daerah hanyalah untuk<br />

memperbesar tunjangan para pejabat. <strong>Otonomi</strong> daerah adalah “proyek kesejahteraan<br />

untuk bapak-bapak”, bukan untuk kepentingan rakyat kecil.<br />

26 Lembaga Penelitian SMERU, Januari 2002

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!