Menuju Pembangunan Damai: Membangun Kohesi Sosial ... - UNDP
Menuju Pembangunan Damai: Membangun Kohesi Sosial ... - UNDP
Menuju Pembangunan Damai: Membangun Kohesi Sosial ... - UNDP
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Konflik, <strong>Kohesi</strong> <strong>Sosial</strong> dan Perdamaian di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara<br />
bukannya sebuah dimensi “horisontal” dari<br />
kohesi sosial. Bagaimanapun, pemerintah<br />
daerah dan pengambilan keputusan telah<br />
memberikan dampak yang signifikan atas<br />
kerjasama antar kelompok, baik positif<br />
maupun negatif. Pengambilan keputusan di<br />
tingkat lokal mempengaruhi persepsi tentang<br />
keadilan (apakah “pemenang” atau<br />
“pecundang” yang dihasilkan dari praktek atau<br />
keputusan tertentu), dan pemerintahan yang<br />
dikenal sebagai partisan atau korup dapat<br />
menimbulkan keluhan-keluhan yang memicu<br />
konflik. Keluhan yang kedua itulah yang<br />
ditekankan oleh para pengungsi (baik Islam<br />
maupun Kristen) dengan laporan penggelapan<br />
dana pengungsi. 27 Akan tetapi ada juga contoh<br />
positif, terutama di tingkat pedesaan, di mana<br />
kadar kepercayaan dan apresiasi terhadap<br />
peran dan komitmen pimpinan desa biasanya<br />
lebih tinggi. Contohnya, masyarakat<br />
memberikan penghargaan terhadap kepala desa<br />
yang bersikap tidak memihak dalam upayaupayanya.<br />
Juga penghargaan terhadap dewan<br />
desa (BPD, atau Badan Perwakilan Desa)<br />
dalam merangkul keanekaragaman sosial di<br />
lingkungan campuran. Hal ini dianggap oleh<br />
warga sebagai kontribusi besar bagi kohesi<br />
sosial dan perdamaian. Lebih lanjut, beberapa<br />
pengambilan keputusan lokal, atas kesadaran<br />
sendiri, telah bersikap ‘peka terhadap konflik’<br />
dalam upaya mengimbangi ketidakseimbangan<br />
suku dan agama yang dapat memicu<br />
pemecahan antar kelompok.<br />
Kebalikan dari pemerintahan desa,<br />
masyarakat di Maluku Utara memandang<br />
pemerintah provinsi lamban atau tidak aktif<br />
dalam merespon kebutuhan rakyat. Biasanya<br />
pemerintah merencanakan dan melakukan<br />
program-program tanpa berkonsultasi secara<br />
memadai dengan masyarakat. Praktek korupsi,<br />
kolusi, dan nepotisme diyakini telah meluas<br />
sehingga para pejabat pemerintahan sudah<br />
sangat tidak dipercaya oleh masyarakat.<br />
Masyarakat beranggapan bahwa para pejabat<br />
mencapai kedudukan mereka dengan<br />
memberikan uang suap. Anggapan yang sama<br />
juga berlaku secara bagi para pejabat di tingkat<br />
kabupaten, meskipun lahannya jauh lebih<br />
terbatas. Sebagai buktinya mereka menunjuk<br />
para pejabat kabupaten, dari beberapa<br />
27 Lihat “Pelicin Banyak Jadup Terbayarkan”<br />
(“Expediters Paid a Lot of Jadup”), Poso Post, 24-<br />
29 Februari 2004, p. 1.<br />
kabupaten, yang lebih memilih bertempat<br />
tinggal di ibukota provinsi, Ternate, daripada di<br />
ibukota kabupaten. Pada saat yang sama<br />
penduduk lokal merasa ada kompetisi yang<br />
sangat ketat antara pemerintah provinsi dan<br />
kabupaten untuk mendapatkan alokasi<br />
anggaran dari pemerintah pusat, sebagi akibat<br />
kebijakan desentralisasi, khususnya untuk<br />
pengungsi dan pembangunan sosial.<br />
Secara umum, meskipun bidang ini sulit<br />
ditangani, ada tiga aspek yang memerlukan<br />
pertimbangan khusus. Pertama, memperkuat<br />
upaya-upaya advokasi masyarakat, terutama<br />
jika bersifat antar kelompok, dapat<br />
memberikan kontribusi besar bagi<br />
pemerintahan yang baik dan kohesi sosial.<br />
Kedua, perencanaan pembangunan<br />
berdasarkankan konflik (atau “berdasarkan<br />
perdamaian”) dapat membuka peluang yang<br />
lebih luas bagi pasrtisipasi masyarakat dalam<br />
pengambilan keputusan yang mempengaruhi<br />
keseluruhan daerah. Hal ini penting khususnya<br />
untuk proyek-proyek infrastruktur yang<br />
melibatkan lebih banyak uang dan keuntungan<br />
lain. Dalam kondisi ini resikonya menjadi lebih<br />
tinggi untuk terjadi korupsi atau (persepsi)<br />
adanya “pemenang” dan “pecundang” dari<br />
suku dan agama tertentu. Ketiga, adanya<br />
mekanisme tidak resmi untuk memobilisasi<br />
pelayananan masyarakat, yang dapat<br />
dipengaruhi untuk menghasilkan kerjasama<br />
antar kelompok dalam konteks upaya<br />
pembangunan masyarakat. PKK adalah contoh<br />
utama dalam hal ini.<br />
4.10 Struktur, Isu, dan Dinamika yang<br />
memecah-belah Masyarakat<br />
Di wilayah Poso, tercatat ada lima faktor<br />
yang memecah-belah kelompok, yang secara<br />
umum juga berlaku pada situasi di Maluku<br />
Utara. Faktor-faktor tersebut adalah (i)<br />
ketidakamanan, (ii) pemisahan geografis dan<br />
jarak fisik, (iii) jaringan gereja atau masjid<br />
yang terpisah, (iv) organisasi suku dan budaya<br />
yang terpisah dan (v) perasaan tidak puas dan<br />
ketidakadilan. Donatur tidak dapat berbuat<br />
banyak untuk mengubah faktor-faktor ini, tapi<br />
dalam beberapa kasus, penyusunan program<br />
tertentu dapat dikembangan untuk<br />
mengimbangi, atau mengurangi, efek yang<br />
lebih memecah-belah.<br />
Ketidak-amanan adalah sumber utama<br />
ketidakpastian dalam hubungan antar<br />
34