Bisnis-Indonesia-Arah-Bisnis-dan-Politik-2014
Bisnis-Indonesia-Arah-Bisnis-dan-Politik-2014
Bisnis-Indonesia-Arah-Bisnis-dan-Politik-2014
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
APBN <strong>2014</strong><br />
Saatnya Tidak Terlalu Berharap<br />
Saat belanja modal <strong>dan</strong> infrastruktur<br />
diperlambat, belanja pegawai <strong>dan</strong><br />
remunerasi justru diangkat. Di<br />
tengah eskalasi suhu politik jelang<br />
Pemilu <strong>2014</strong>, apa yang bisa diharapkan<br />
dari APBN <strong>2014</strong><br />
Sri Mas Sari<br />
sri.massari@bisnis.co.id<br />
Tidak banyak interupsi dilontarkan anggota<br />
DPR sebelum Rancangan<br />
Anggaran Pendapatan <strong>dan</strong> Belanja<br />
Negara (APBN) <strong>2014</strong> akhirnya direstui<br />
dalam si<strong>dan</strong>g paripurna, akhir Oktober<br />
lalu. Sembilan fraksi kompak menyetujui<br />
rancangan itu tanpa gejolak berarti.<br />
Secara garis besar, parlemen menyetujui asumsi<br />
pertumbuhan ekonomi 6% sembari mewanti-wanti<br />
harus tetap berkualitas, inklusif, <strong>dan</strong> berkeadilan.<br />
Dewan menyoroti program pengentasan kemiskinan<br />
2009-2013 yang menghabiskan anggaran cukup<br />
besar, tetapi dengan hasil yang belum signifikan.<br />
Belum lepas dari ingatan tentang janji pemerintah<br />
saat hendak menaikkan harga BBM bersubsidi<br />
pada pertengahan 2013. Akan ada pengalihan ke<br />
belanja modal, termasuk infrastruktur <strong>dan</strong> transportasi<br />
publik, dari ruang fiskal yang tercipta akibat<br />
belanja subsidi energi ditekan.<br />
Hal tersebut ditegaskan kembali dalam Nota<br />
Keuangan RAPBN <strong>2014</strong> yang dibacakan Presiden<br />
Susilo Bambang Yudhoyono di depan si<strong>dan</strong>g paripurna<br />
DPR, paruh Agustus lalu. Dalam pidato itu,<br />
presiden menegaskan kehendak pemerintah untuk<br />
meningkatkan kualitas belanja negara.<br />
Kepala Negara berjanji mempertajam alokasi<br />
belanja untuk mendukung pembangunan infrastruktur,<br />
penciptaan kesempatan kerja <strong>dan</strong> pengentasan<br />
kemiskinan. Di sisi lain, pemerintah akan<br />
melakukan penghematan kegiatan kurang produktif,<br />
seperti biaya perjalanan dinas, rapat kerja <strong>dan</strong><br />
sejenisnya.<br />
Sayangnya, pemerintah gagal mengejawantahkan<br />
rencana itu dalam kebijakan belanja APBN <strong>2014</strong><br />
yang naik mendekati 7% menjadi Rp1.842,49 triliun.<br />
Memang, ada penurunan subsidi energi 5,9%<br />
menjadi Rp282,1 triliun, terutama akibat pencabutan<br />
subsidi listrik pada beberapa kelompok industri.<br />
Flat policy tersebut juga berhasil menurunkan<br />
belanja barang 2,23% menjadi Rp201,89 triliun.<br />
Namun, di sisi lain belanja modal belanja modal<br />
hanya naik 6,9% menjadi Rp205,84 triliun, termasuk<br />
belanja infrastruktur di dalamnya yang sekadar<br />
meningkat 2,4% menjadi Rp188,7 triliun.<br />
Padahal, berbagai referensi menunjukkan, belanja<br />
modal, termasuk belanja infrastruktur, merupakan<br />
jenis belanja pemerintah pusat yang paling<br />
memberikan efek berganda (multiplier effect) ke<br />
berbagai sektor ekonomi, seperti konstruksi, manufaktur<br />
<strong>dan</strong> perdagangan.<br />
EFEK KONTRAS<br />
Efek kontras kebijakan belanja itu terlihat karena<br />
pada saat yang sama, belanja pegawai, atau<br />
belanja gaji pegawani negeri sipil, melesat 13,3%<br />
menjadi Rp263,98 triliun. Pilihan ini kian melambungkan<br />
rasio belanja wajib (mandatory spending)<br />
terhadap total belanja pusat menjadi 74%.<br />
Belanja wajib yang semakin tinggi dengan sendirinya<br />
mempersempit ruang gerak pemerintah<br />
untuk melakukan intervensi fiskal dalam bentuk<br />
stimulus, baik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,<br />
menciptakan lapangan kerja produktif maupun<br />
mengentaskan kemiskinan.<br />
Otoritas fiskal mungkin punya sederet alasan<br />
untuk mengerek belanja pegawai, mulai dari ke -<br />
naik an gaji <strong>dan</strong> pensiun masing-masing 6% <strong>dan</strong><br />
4%, pemberian gaji <strong>dan</strong> pensiun ke-13 hingga pe -<br />
nyediaan remunerasi, termasuk untuk 14 kementerian/lembaga<br />
yang baru memperolehnya tahun <strong>2014</strong>.<br />
Tahun ini saja, tambahan anggaran remunerasi<br />
untuk 210.912 pegawai di 27 K/L mencapai Rp3,5<br />
triliun. Tambahan itu membuat belanja remunerasi<br />
ini, sejak digulirkan 2008, telah menjangkau 63<br />
K/L yang dinilai telah berhasil melakukan reformasi<br />
birokrasi.<br />
Namun, keberhasilan itu agaknya cuma di atas<br />
kertas, kalau tidak disebut bertolak belakang<br />
dengan realitas. Laporan Doing Business <strong>2014</strong> yang<br />
baru dirilis Bank Dunia mengungkapkan sebagian<br />
besar parameter yang belum menunjukkan perbaikan<br />
signifikan menjadi tanggung jawab pemerintah.<br />
Faktor itu mencakup waktu <strong>dan</strong> biaya memulai<br />
usaha yang masih tinggi, waktu pendaftaran properti<br />
yang relatif lama, pembayaran pajak, penegakan<br />
kontrak <strong>dan</strong> penyelesaian kepailitan. Tak<br />
heran jika peringkat ease of doing business<br />
<strong>Indonesia</strong> melorot dari 116 pada 2013 menjadi 120<br />
pada <strong>2014</strong>.<br />
Memang, tidak semua pekerjaan pemerintah<br />
dalam mereformasi iklim investasi tidak membuahkan<br />
perbaikan. Beberapa faktor seperti yang kemudahan<br />
memperoleh kredit perbankan <strong>dan</strong> kemudah-<br />
22 | Laporan Khusus <strong>Arah</strong> <strong>Bisnis</strong> & <strong>Politik</strong>