Bisnis-Indonesia-Arah-Bisnis-dan-Politik-2014
Bisnis-Indonesia-Arah-Bisnis-dan-Politik-2014
Bisnis-Indonesia-Arah-Bisnis-dan-Politik-2014
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Untuk tingkat kabupaten/kota sendiri, dari 60 kasus<br />
yang ada, sebanyak 32 bupati/ wali kota telah menjadi<br />
terdakwa di dalamnya. Itu semua masih belum menghitung<br />
kasus-kasus yang se<strong>dan</strong>g dalam proses peradilan,<br />
atau mentah <strong>dan</strong> berhenti baik di kepolisian maupun<br />
kejaksaan.<br />
Di luar fakta tersebut, besarnya biaya politik dalam<br />
momentum pilkada yang turut menyuburkan praktik<br />
korupsi juga menjadi bahan sorotan. Calon anggota<br />
legislatif (caleg) atau calon kepala daerah memerlukan<br />
tiket untuk mengamankan posisinya di pengurus partai<br />
daerah maupun pusat.<br />
Akibatnya, caleg <strong>dan</strong> calon kepala daerah itu akan<br />
menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan tiket<br />
tersebut. Di sini, korupsi menjadi jalan keluarnya, mulai<br />
dari menyunat <strong>dan</strong>a bantuan sosial (bansos) untuk<br />
biaya kampanye hingga membengkaknya <strong>dan</strong>a bansos<br />
melalui sumber yang ajaib.<br />
Puncaknya, kasus korupsi Kepala Mahkamah<br />
Konstitusi (MK) Akil Muchtar dalam sengketa Pilkada<br />
yang sekaligus menyoroti praktik politik dinasti<br />
Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah baru-baru ini telah<br />
membuat banyak pihak mempertanyakan kembali<br />
keefektifan pilkada secara langsung.<br />
Secara perlahan, berbagai ekses negatif rezim desentralisasi<br />
itu menggumpalkan wacana baru untuk<br />
mengembalikan pilkada melalui sistem perwakilan.<br />
Sebab, alih-alih mencapai maksud desentralisasi yakni<br />
pemerataan pembangunan, pilkada justru jadi ajang<br />
<strong>Bisnis</strong>/Wahyu Darmawan<br />
korupsi <strong>dan</strong> bagi-bagi kekuasaan.<br />
Wacana itu pun bersambut. Pemerintah akhirnya<br />
menggodok Rancangan Un<strong>dan</strong>g-un<strong>dan</strong>g (RUU) Pilkada<br />
bersama DPR, yang mewacanakan untuk mengembalikan<br />
sistem pemilihan pada perwakilan rakyat seperti<br />
pada masa sebelum era desentralisasi, yakni pemilihan<br />
tidak langsung melalui DPRD.<br />
Meski belum ada titik terang mengenai tingkatan,<br />
provinsi atau kabupaten/ kota, yang dikembalikan pada<br />
sistem perwakilan, wacana tersebut sontak mengejutkan.<br />
Reaksi penolakan pun muncul dari berbagai<br />
kalangan, terutama kalangan aktivis pro-demokrasi.<br />
Lia Wulandari, peneliti dari Perkumpulan untuk<br />
Pemilu <strong>dan</strong> Demokrasi (Perludem) mengatakan pilkada<br />
langsung adalah harga mati bagi demokrasi <strong>Indonesia</strong>.<br />
Memang, praktik Pilkada yang berjalan selama ini<br />
memang jauh dari sempurna, tapi bukan berarti<br />
<strong>Indonesia</strong> harus kembali pada masa kelam.<br />
“Ketika pemerintah akan kembali pada praktik-praktik<br />
non-demokrasi, maka pemerintah secara tidak langsung<br />
memasung hak suara masyarakat <strong>Indonesia</strong>. Langkah<br />
mundur ini akan memperbesar ongkos politik demokrasi<br />
yang sudah dilalui lebih dari 10 tahun lalu,” katanya.<br />
Kritik Lia boleh jadi benar. Bandul konsolidasi<br />
demokrasi tak bisa dipaksa mundur atas nama ikhtiar<br />
memperbaiki situasi, terutama ekonomi. Penyesuaian<br />
tetap harus dilakukan, tetapi tanpa mencederai. Harapan<br />
serta kecemasan inilah yang agaknya banyak mewarnai<br />
perjalanan tahun ini.<br />
Laporan Khusus <strong>Arah</strong> <strong>Bisnis</strong> & <strong>Politik</strong> | 25