05.06.2013 Views

CoMInet v1.0

CoMInet v1.0

CoMInet v1.0

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

dikuasai oleh bangsa Indonesia dan digunakan untuk menopang perjuangan bangsa dalam mengisi kemerdekaan<br />

serta untuk kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia?<br />

Kalau kita semua mau jujur, dengan melihat kondisi pertelekomunikasian yang ada di Indonesia saat ini, maka<br />

mayoritas kita akan menjawab dua pertanyaan di atas dengan jawaban “TIDAK”.<br />

Banyak kasus yang akan menguatkan jawaban “TIDAK” kita di atas.<br />

Tahun 1995, PT Telkom mulai melakukan penjualan sahamnya di Bursa Efek Jakarta (BEJ), Bursa Efek Surabaya<br />

(BES), New York Stock Exchange (NYSE) dan London Stock Exchange (LSE). ursa Efek Jakarta (BEJ), Bursa Efek<br />

Surabaya (BES), New York Stock Exchange (NYSE) dan London Stock Exchange (LSE). Dengan melakukan<br />

perdagangan saham di beberapa bursa efek ini, maka saham Telkom dapat dengan bebas dimiliki oleh investor.<br />

Pertanyaannya sekarang, apa untungnya Telkom melakukan hal ini? Kalau alasannya cuma untuk mendapatkan<br />

tambahan dana untuk menyehatkan dan mengembangkan bisnis Telkom, seperti ini kurang relevan. Bukankah<br />

pada saat itu Telkom tercatat sebagai BUMN paling sehat. Pada saat itu jasa telepon wireline masih menjadi pilihan<br />

utama masyarakat, karena bisnis telkomunikasi mobile belum terlalu berkembang. Sehingga dapat dipastikan<br />

bahwa Telkom adalah satu-satu perusahaan telekomunikasi yang menguasa pasar telekomunkasi di Indonesia<br />

pada saat itu. Banyak pihak berpendapat bahwa process penjualan saham ini adalah bagian dari scenario besar<br />

yang sedang dijalankan oleh pihak-pihak tertentu untuk dapat ikut menguasai Telkom sebagai asset<br />

telekomunikasi paling besar di Negara ini.<br />

Lalu pada tahun 1999, dengan deaskan yang sangat kuat dari IMF, disahkanlah Undang-undang nomor 36/1999,<br />

tentang penghapusan monopoli penyelenggaraan telekomunikasi. Pada dasarnya UU ini hanya bertujuan untuk<br />

mengurangi control pemerintah di pereusahaan-perusahaan telekomunikasi besar yang ada di Indonesia. Salah<br />

satu dampak dari UU ini adalah, Telkom dan Indosat tidak boleh ambil berbagi kepemilikan dalam sebuah<br />

perusahaan telekomunikasi di Indonesia. Sehingga di seluruh perusahaan telekomunikasi yang ada, dimana<br />

Telkom dan Indosat memiliki saham, maka kepemiliki keseluruhan saham perusahaan tersebut harus diserhkan<br />

kepada Telkom atau Indosat, sesuai dengankesepakatan kedua perusahaan tersebut. Salah satu contoh kasusnya<br />

ialah seperti yang terjadi di Satelindo dan Telkomsel. Kepemilikan Telkomsel sepenuhnya menjadi milik Telkom,<br />

dimana Telkom harus membeli seluruh saham Indosat yang ada di Telkomsel. Dan Satelindo, sepenuhnya menjadi<br />

milik Indosat, dimana Indosat juga harus membeli seluruh saham Telkom di Satelindo.<br />

Lihat juga kasus penjualan 12,72% saham telkom di Telkomsel kepada SingTel Singapore, sehingga saham SingTel<br />

di Telkomsel bertambah menjadi 35%, sedangkan saham Telkom turun menjadi 65%. Padahal pada waktu itu,<br />

proses penjualan saham Telkom di Telkomsel kepada SingTel ini tidak disetujui oleh DPR RI (kalau DPR tidak setuju,<br />

mestinya ada sesuatu dibalik process penjualan saham ini). Perlu diingat bahwa pada saat itu (2002), dengan<br />

jumlah pelanggan sebanyak 5 juta pelanggan, Telkomsel merupakan market leader di bisnis telekomunikasi<br />

mobile di Indonesia. Sehingga dengan bertambahnya jumlah saham SingTel di Telkomsel, maka akan<br />

mengakibatkan bertambahkan aliran uang dari Indonesia yang mengalir ke Singapore, yang secara langsung hanya<br />

akan memperkaya mereka.<br />

Kemudian kasus yang paling heboh, penjualan INDOSAT ke perusahaan asing asal Singapore, Singapore<br />

Technologies Telemedia (STT) pada tahun 2002. Dimana nilai jual INDOSAT saat itu dinilai sangat murah, padahal<br />

asset INDOSAT saat itu sangat besar, karena sebelum dijual INDOSAT baru saja mengakuisisi SATELINDO (dampak<br />

dari pemisahan saham INDOSAT dan TELKOM di seluruh perusahaan telekomunikasi yang ada di Indonesia). Dan<br />

dana hasil penjualannya juga tidak jelas alirannya kemana. Buntut dari penjualan ini, saat ini pemerintah Indonesia<br />

tidak memiliki control yang kuat di Indosat, karena mayoritas saham dimiliki oleh STT, yaitu sebanyak 39,96%, JP<br />

Morgan memilkin saham sebesar 8,38%, saham public sebesar 37,37%. Sedangkan pemerintah Indonesia hanya<br />

memiliki saham sebesar 14,29%. Dan yang lebih penting lagi, asset Negara yang begitu besar yang ada di Indosat,<br />

tidak lagi apat dimanfa’atkan sepenuhnya untuk kepentingan nasional bangsa Indonesia.<br />

Lihat juga kasus jual beli license dan saham yang terjadi di 2 perusahaan pemegang license 3G yang baru, yaitu<br />

Cyber Access (CAC) dan Natrindo Telepon Seluler (NTS) kepada perusahaan-perusahaan asing. Padahal pemerintah<br />

dengan tegasa melarang mereka menjual license dan sahamnya sampai mereka benar-benar dapat beroperasi dan<br />

membuktikan komitmen mereka untuk membangun infrastruktur 3G di Indonesia, sesuai dengan kesepakatan<br />

yanga da dalam kontrak license 3G yang mereka dapatkan. Kedua perusahaan ini seperti ini tidak mau repot-repot<br />

membangun infrastruktur 3G, tapi mereka tetap mau dapat untung gede, akhirnya mereka hanya berlaku sebagai<br />

”broker” license 3G, dapet license dari pemerintah dan menjualnya dengan harga lebih mahal ke perusahaan

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!