20.04.2017 Views

Catatan Seorang Pejalan

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

<strong>Catatan</strong> <strong>Seorang</strong> <strong>Pejalan</strong><br />

ternyata, Romo melakukan kebodohan yang sangat bodoh. Romo<br />

menceraikannya.” Romo terdiam lama, sementara saya memutar otak,<br />

mencoba mencari sebab perceraian itu. “Sepanjang pernikahan kami,<br />

belasan tahun lamanya, kami tak juga dikarunia keturunan. Kami<br />

memang telah mengadopsi anak, tapi hal itu tak menyurutkan keinginan<br />

Romo untuk mempunyai anak. Romo akhirnya meminta izin untuk<br />

menikahi Fatma. Asih tak menyetujuinya dan lebih memilih untuk<br />

diceraikan daripada dimadu. Prinsipnya sangat kuat. Romo pun<br />

menceraikannya, walau itu menyakiti hati Romo sendiri. Asih adalah<br />

anugerah terindah yang pernah Romo terima.”<br />

Saya mendengar isakan tertahan dari Romo. Rasa penyesalan<br />

kembali menyeruak, walau peristiwa itu telah berlalu lama. “Romo<br />

egois, ya, Nduk?” Ada titik-titik air yang turun di wajah tua yang masih<br />

menyimpan sisa ketampanan masa muda.<br />

“Sudahlah Mo, mungkin garis takdirnya seperti itu. Toh itu<br />

sudah berlalu dan penyesalan tak akan membuat waktu bisa terulang<br />

kembali.” Romo lalu mengusapi matanya yang berair.<br />

“Lalu bagaimana cerita nyaris asal menikahmu, Nduk? Ceritalah,<br />

kan tadi Romo sudah bercerita,” pinta Romo.<br />

Saya menarik nafas panjang, bersiap untuk bercerita. “Ceritanya<br />

hanya karena patah hati pada cinta pertama, hingga hampir bersedia<br />

menikah demi melupakan. Namun sepertinya, takdir tak membiarkan<br />

saya berbuat kebodohan besar. Saya mengakhirinya, memilih untuk<br />

memenangkan nurani dan rela dimusuhi olehnya, hahaha. Lagi pula saya<br />

tak yakin menikah dengannya. Visi, misi, dan tujuan hidup kami jauh<br />

berbeda dan sangat sulit untuk disatukan.”<br />

Romo merubah posisi duduknya hingga wajah kami<br />

berhadapan. “Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri, Nduk.”<br />

Saya bangkit dan melangkahkan kaki, hampir menuju tepi<br />

gunung, di depan mulut jurang. Angin kencang menerpa wajah berkali-<br />

[Ratu Marfuah] 34

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!