20.04.2017 Views

Catatan Seorang Pejalan

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

<strong>Catatan</strong> <strong>Seorang</strong> <strong>Pejalan</strong><br />

“Emang dari tadi gak nafas, ya? Ngeles aja neh.” Saya tertawa.<br />

“Butuh mendaki untuk sampai ke puncak, dan ternyata hidup<br />

itu adalah pendakian, perjuangan. Dalam hidup, selalu butuh perjuangan<br />

dalam mencapai apa pun. Untuk bisa kuliah, butuh perjuangan untuk<br />

menyelesaikan TK, SD, SMP, dan SMA dulu. Untuk bisa menjadi presiden<br />

juga butuh perjuangan. Intinya, selalu saja ada tangga-tangga yang harus<br />

didaki agar bisa sampai ke puncak. Entah itu puncak kedudukan karir<br />

atau puncak kesuksesan material,” ucap saya setelah lama terdiam.<br />

“Lalu apa kabarnya dengan kesuksesan spiritual?” tanya Romo.<br />

“Ya sama Mo. Bukankah butuh perjuangan untuk menjadi<br />

hamba Allah yang diakui karena ada ujian untuk mengujinya. Selevel<br />

Nabi, ujiannya tentu lebih berat daripada umatnya. Semakin besar dan<br />

susah ujiannya, maka posisi spiritualnya akan semakin tinggi. Saat<br />

mendaki gunung pun seperti itu. Kesulitan saat berada di kaki gunung<br />

jauh lebih mudah daripada kesulitan saat berada di badan gunung. Angin<br />

saja terasa kencang ketika berada di puncak, bukan ketika berada di kaki<br />

gunung.” Kembali lagi saya terdiam, kehabisan kata-kata.<br />

“Benar Kroto. Gunung itu adalah salah satu dari perlambang<br />

kehidupan. Pendakian dan rintangannya itu beranalogi dengan<br />

perjuangan dan rintangan hidup. Lalu, langit dan tanah yang terasa<br />

berdekatan saat ada di puncak gunung, itu menandakan apa?”<br />

Pertanyaan Romo kembali menodong, tapi saya hanya bisa menggeleng.<br />

“Bentuk gunung itu segitiga. Bagian alasnya lebih luas daripada<br />

puncaknya. Hal itu melambangkan tentang tingkat kesadaran akan<br />

ketuhanan. Menandakan bahwa banyak sekali hamba Allah namun<br />

sedikit yang mencapai taraf insan kamil (manusia yang sempurna), yang<br />

benar-benar sadar akan dirinya, karena perjuangan ke arah sana<br />

sungguh sangat tak mudah. Dan ketika telah mencapai taraf itu, Allah<br />

terasa sangat dekat, seakan tak berjarak. Apa pun doanya, terpenuhi.<br />

Man arofa nafsahu faqat arofa Robbahu,” jelas Romo.<br />

[Ratu Marfuah] 52

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!