Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
<strong>Catatan</strong> <strong>Seorang</strong> <strong>Pejalan</strong><br />
telah ditentukan. Oleh siapa? Kyai Sepi--orang yang mengundang<br />
pertunjukan wayang. Sepi artinya tidak ada, akan tetapi keberadaannya<br />
sesungguhnya tergelar; langgeng tak berubah, tak bertambah dan tak<br />
berkurang. Namun ternyata, ada lagi yang berkuasa atas gerakan<br />
wayang dan ucapan Dalang.”<br />
“Ada lagi, Yai?” kembali saya bertanya.<br />
“Ya, Kyai Urip (Kyai Hidup); yang membuat semuanya bisa<br />
bergerak, melakukan perbuatan jelek atau baik. Berlaku untuk<br />
semuanya, baik yang mengundang, yang diundang atau pun yang<br />
menonton pertunjukannya. Ketika pelita telah padam, semuanya<br />
menjadi kosong, tidak ada apa-apa. Sama seperti sebelum dilahirkan.<br />
Hukum keberadaan itu berlaku; dari tiada, lalu diadakan, dan akhirnya<br />
kembali tiada. Paham, Nduk?” Saya mengangguk.<br />
“Ketahuilah Nduk, sesungguhnya kelir adalah raga ini. Wayang<br />
adalah suksma sejati. Dalang adalah ruh. Dan blencong adalah percikan<br />
hidup. Cahaya hidup tersebar merata atasmu; di atas, di bawah, di luar,<br />
dan di dalam. Blenconglah yang memberikan terang kepada Dalang.<br />
Dalang memberikan kesadaran kepada wayang. Sedangkan kelir, ia<br />
hanya menjadi semacam wahana terjadinya seluruh cerita yang<br />
dikisahkan. Wujudmu nampak. Ada, walau sebenarnya tak ada.<br />
Wujudmu itu, wujud Gusti Allah. Bukankah semua yang ada padamu<br />
adalah kepunyaan Gusti Allah? Jika ada yang bilang bahwa kedua mata<br />
yang ada pada wajahnya adalah kepunyaannya, bisakah ia<br />
memerintahkan satu matanya untuk terpejam dan satu mata lainnya<br />
tetap terjaga? Jika kedua mata itu adalah kepunyaannya, dari manakah ia<br />
membelinya? Semua yang ada pada kita, itu kepunyaan Gusti Allah, dan<br />
kita tak punya hak untuk mengakuinya,” beber Kyai Said. Saya meresapi<br />
ucapannya.<br />
“Sayangnya, kita kadang menganggap itu semua sebagai<br />
kepunyaan kita, hingga tak hati-hati dalam menggunakannya, bahkan<br />
lebih seringnya teledor. Hingga yang terjadi kemudian adalah, kita<br />
[Ratu Marfuah] 74