bergantung tali rapuh cokelat.pmd - International Labour Organization
bergantung tali rapuh cokelat.pmd - International Labour Organization
bergantung tali rapuh cokelat.pmd - International Labour Organization
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
terinfeksi HIV/AIDS atau belum, dan akibat selanjutnnya, mereka bisa menularkan virus kepada<br />
orang lain.<br />
Kasus Hym memberi gambaran bagaimana sikap buruh migran perempuan terhadap HIV/AIDS<br />
dan penularannya. Mereka rata-rata sudah mengetahui bahwa HIV/AIDS bisa menular melalui<br />
hubungan seksual berisiko. Tetapi pemahaman itu tidak diikuti dengan sikap dan perilaku<br />
pencegahan atas penyakit tersebut. Mereka bahkan percaya bahwa risiko tinggi tertular penyakit<br />
HIV/AIDS hanyalah pada perempuan yang bekerja sebagai penjaja seks komersil, bukan dirinya,<br />
meskipun dia sudah juga melakukan hubungan seksual dengan pasangan berisiko.<br />
Sementara itu, buruh migran perempuan yang belum menikah ternyata tidak juga serta merta<br />
menahan diri dari melakukan hubungan seksual bebas selama di tempat kerja. Perasaan kesepian<br />
dan kejenuhan di tempat bekerja seringkali memunculkan perilaku rekreatif berupa pesta minum<br />
minuman keras. Kebiasaan ini terkadang berakhir dengan penggunaan obat-obatan terlarang<br />
(narkoba) dan hubungan seksual berisiko di negara tempat mereka bekerja. Beberapa informan<br />
mengaku, pada saat melakukan kegiatan rekreatif tidak terbersit di benak mereka akan bahaya<br />
HIV/AIDS. Bagi mereka kegiatan itu dibutuhkan untuk mencari kesenangan, menghilangkan<br />
perasaan kesepian dan kejenuhan yang melanda selama bekerja.<br />
Ketidaktahuan tentang fungsi kondom tentu saja berdampak negatif. Buruh migran perempuan<br />
mengesampingkan alat ini sebagai alat pencegahan diri terhindar dari HIV/AIDS. Kondom hanya<br />
dianggap sebagai alat kontrasepsi, semata-mata sebagai pencegah kehamilan.<br />
Tidak adanya tes kesehatan khususnya pada buruh migran perempuan tidak berdokumen<br />
membuat mereka semakin terpinggirkan untuk mengetahui kondisi serta hak-hak atas kesehatan.<br />
Mereka tidak akan pernah mengetahui apakah diri mereka sudah tertular HIV/AIDS atau tidak.<br />
Sehingga, muncul anggapan keliru: mereka tetap merasa sehat sekalipun sudah berhubungan<br />
seksual berisiko selama tidak ada keluhan apa pun dalam beberapa bulan. Padahal, masa inkubasi<br />
HIV hingga menjadi AIDS bisa sampai berbilang tahun. Artinya, HIV/AIDS berpeluang menjadi<br />
hantu mematikan bagi buruh migran perempuan di masa datang, sebagai akibat dari sikap dan<br />
perilaku mereka di masa kini.<br />
Memang, penggunaan visa umroh terkadang justru menghindarkan buruh migran perempuan<br />
dari tindakan yang berisiko menularkan HIV/AIDS. Hal ini terjadi karena buruh migran perempuan<br />
dengan visa umroh biasanya lebih bebas memilih majikan. Jika majikan melakukan pelecehan<br />
seksual, yang sangat birisiko menularkan HIV, buruh migran perempuan dapat secara bebas<br />
keluar dari tempat kerja. Kondisi itu mustahil dilakukan buruh migran perempuan yang<br />
menggunakan vsia kerja dengan kontrak kerja terikat.<br />
Pada penelitian ini ditanyakan juga pendapat buruh migran perempuan jika mereka ternyata<br />
terinfeksi HIV/AIDS. Beberapa informan asal Sumenep mengaku situasi itu akan menjadi<br />
malapetaka besar bagi mereka. Jika masyarakat di desa mengetahui dirinya terinfeksi HIV/AIDS,<br />
mereka membayangkan akan mengalami pengucilan dari masyarakat. Penyakit ini juga akan<br />
dianggap sebagai sebuah aib besar bagi keluarga mereka.<br />
75