05.01.2015 Views

download - KontraS

download - KontraS

download - KontraS

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

BERITA UTAMA<br />

Awal tahun ini tepatnya (4/01) mantan penguasa Orde Baru,<br />

Soeharto, kembali dilarikan ke rumah sakit. Presiden Kedua<br />

RI ini kembali kritis dan dirawat di Rumah Sakit Pusat<br />

Pertamina (RSPP) Jakarta Selatan. Selama hampir sebulan<br />

sang jenderal besar ini dirawat oleh lebih 40 orang dokter<br />

spesialis berbagai bidang. Tim dokter<br />

ini bekerja keras tak henti siang<br />

malam, mengobati dan memberikan<br />

pengobatan terbaik bagi Soeharto.<br />

Diusianya yang sudah senja,<br />

Soeharto (86 thn) berjuang hampir<br />

sebulan melawan berbagai penyakit<br />

kronis yang dideritanya. Dan pada<br />

(27/01), presiden pada masa orde<br />

baru ini menghembuskan napas<br />

terakhirnya. Soeharto pun pergi<br />

dengan tetap menyisakan segala<br />

kontroversial terkait dengan harta<br />

yang dimilikinya maupun jumlah<br />

kasus pelanggaran berat HAM yang<br />

terjadi ketika ia berkuasa.<br />

Sebagai sesama mahluk Tuhan sudah sepantasnya kita<br />

menyampaikan belasungkawa pada keluarga yang<br />

ditinggalkan. Namun begitu, kita harus terus ingat dan<br />

menyadari bahwa Soeharto pergi membawa setumpuk kasus<br />

hukum atas dirinya yang tak pernah dipertanggung jawabkan<br />

hingga akhir hayatnya, lantaran Soeharto memang tak pernah<br />

diadili.<br />

Siapapun pasti akan kembali padaNya. Namun, pemerintah<br />

dan bangsa Indonesia harus jalan terus. Dan yang perlu<br />

diingat, Indonesia harus menyelesaikan warisan masa lalu<br />

dari Pemerintahan Soeharto. Mengapa Karena kita tak bisa<br />

melupakan masa lalu. Kita harus terus mengingatnya dan<br />

secara bersama menyelesaikan berbagai warisan masa lalu<br />

itu secara bermartabat, yaitu lewat proses hukum dan<br />

keadilan yang layak.<br />

Politisasi sakit<br />

Kematian Soeharto Tidak Matikan Tuntutan<br />

Sebelumnya, setiap Soeharto masuk rumah sakit, maka para<br />

pendukung Orde Baru terutama mereka kroni-kroni Soeharto,<br />

selalu mengeluarkan tuntutan agar nama Soeharto dicuci<br />

bersih, dari semua tuntutan atas kejahatan yang dilakukannya<br />

selama berkuasa selama 32 tahun. Bahkan, satu lapisan elit<br />

politik nasional yang dipelopori Partai Golkar, mendesak<br />

pemerintah, dalam hal ini Presiden SBY dan Jaksa Agung<br />

Hendarman Supandji, untuk dapat segera menutup proses<br />

hukum terhadap Soeharto.<br />

Kita tentu amat menyayangkan, karena ada begitu banyak<br />

pihak memberi pernyataan dengan mengatasnamakan<br />

“kemanusiaan” meminta proses hukum terhadap Soeharto<br />

dihentikan. Padahal jelas, jati diri kemanusiaan adalah<br />

kebenaran dan keadilan. Tidak bisa kemanusiaan menutupi<br />

dirinya dari kebenaran dan keadilan. Kemanusiaan memang<br />

Dok. Kontras<br />

Aksi korban menuntut pengadilan untuk Soeharto<br />

mengajarkan kita untuk bersimpati pada siapapun yang sakit,<br />

termasuk terhadap Soeharto. Namun, kemanusiaan bukanlah<br />

ruang untuk menutup kebenaran dan keadilan yang harus<br />

ditegakkan di muka bumi ini. Kemanusian mengajarkan kita<br />

untuk mencari kebenaran dan keadilan atas segala kesakitan,<br />

luka dan derita yang korban terima.<br />

Bangsa ini mempunyai sejarah kelam.<br />

Dan sejarah kelam itu terjadi selama<br />

Soeharto berkuasa. Ada begitu banyak<br />

pelanggaran hak asasi manusia yang<br />

terjadi. Mulai dari peristiwa 1965,<br />

penembakan misterius 19981/1985,<br />

tragedi TanjungPriok 1984, kasus<br />

Talangsari 1989, DOM Aceh 1989-1998,<br />

Papua 1963-2003, kasus 27 Juli 1996,<br />

penculikan para aktivis pro demokrasi<br />

1997/1998, tragedi Mei dan Trisakti dan<br />

masih banyak peristiwa pelanggaran<br />

HAM lainya. Semuanya terjadi akibat<br />

dari praktek orde baru yang dipimpin<br />

oleh Soeharto yang dijalankan<br />

bersama kroninya. Semua tragedi tersebut telah<br />

memporakporandakan arti kemanusian<br />

Anak, ayah, suami, isteri, adik, kakak, saudara, teman kita<br />

dihilangkan. Dipenjarakan dengan segala penyiksaan,<br />

didiskriminasikan dengan segala cara oleh tangan kekuasaan<br />

Orde Baru Soeharto. Dan sampai hari ini tak satupun kebenaran<br />

dan keadilan dalam peristiwa pelanggaaran HAM ditegakkan<br />

di negeri ini. Termasuk pula kasus dugaan Korupsi, Kolusi dan<br />

Nepostisme (KKN) Soeharto. Sementara di tengah kesakitan<br />

Soeharto tersebut, banyak pihak yang tidak pernah merasakan<br />

luka dan derita kemanusiaan yang para korban alami, meminta<br />

proses hukum Soeharto dihentikan. Pendapat tersebut jelas<br />

adalah pendapat yang lebih mencerminkan kepentingan politis,<br />

ketimbang arti kemanusiaan yang hakiki.<br />

Keengganan dan pembiaran<br />

Dan ketika akhirnya Soeharto meninggal dunia kita patut<br />

kecewa kepada pemerintah. Hingga akhir hayat Soeharto,<br />

pemerintah belum juga mampu menyelesaikan berbagai<br />

warisan masa lalu, yakni korupsi massif dan pelanggaranpelanggaran<br />

HAM.<br />

Belum tuntasnya kasus hukum Soeharto menurut Ketua Komnas<br />

HAM, Ifdhal Kasim, menunjukkan keengganan dan pembiaran<br />

yang sengaja dilakukan pemerintah. “Lima tahun reformasi<br />

pemerintah seharusnya mampu menyelesaikan kasus hukum<br />

Soeharto, sehingga ketika Soeharto meninggal kita tidak perlu<br />

membicarakan kasusnya, “ ujar Ifdhal.<br />

Ifdhal menilai kelambanan pemerintah menyelesaikan kasus<br />

hukum Soeharto menunjukkan pelanggaran HAM pemerintah<br />

pada diri Soeharto. Lebih jauh Ifdhal melihat bahwa kasus<br />

hukum Soeharto akan selesai jika pemerintah memiliki<br />

Berita Kontras No.01/I-II/2008 3

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!