download - KontraS
download - KontraS
download - KontraS
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
BERITA UTAMA<br />
tetap melanjutkan gugatan perdata terhadap sejumlah kasus<br />
korupsi yang dilakukan Soeharto. Dalam gugatan perdata itu,<br />
Kejagung, sebagai pengacara negara, harus mengajukan<br />
permohonan sita jaminan terhadap semua harta Soeharto<br />
yang diduga berasal dari hasil korupsi. “Kalau tidak segera<br />
dilakukan penyitaan jaminan, bisa saja harta-harta itu<br />
diklaim oleh anak-anak serta kroni-kroninya, “ ujarnya.<br />
Asfin menyayangkan Kejagung yang tidak dari dulu menyita<br />
harta Soeharto. Menurutnya, Kejagung akan berani<br />
menggugat dan menuntut Soeharto secara perdata, serta<br />
menuntut anak-anak serta kroni-kroninya secara pidana dan<br />
perdata, kalau ada dukungan penuh dari Presiden.<br />
Ironisnya ditengah persoalan hukum yang belum selesai<br />
dituntaskan, muncul wacana pemberian gelar pahlawan<br />
nasional terhadap Soeharto. Wacana yang digulirkan oleh<br />
sekelompok orang (terutama kroni-kroni) Soeharto sangatlah<br />
tidak tepat. Mengapa Karena wacana pemberian gelar<br />
pahlawan nasional terhadap Soeharto seharusnya digulirkan<br />
setelah ada kepastian hukum terhadap kasus Soeharto.<br />
Pemerintah juga harus terlebih dulu melaksanakan Ketetapan<br />
(Tap) MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang penyelenggaraan<br />
Negara Yang Bersih dari KKN, Tap MPR Nomor VIII/MPR/2001<br />
tentang Percepatan Kebijakan Penyelenggaraan Negara yang<br />
Bersih dari KKN, serta Tap MPR Nomor I/2003.<br />
Menurut Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, jika pemberian gelar<br />
pahlawan nasional dilakukan sebelum ada kepastian hukum,<br />
tidak sesuai dengan amanat Tap MPR tersebut. Semangat Tap<br />
MPR adalah menghadirkan penyelenggaraan negara yang<br />
bersih dari KKN. Persoalannya, sampai saat ini belum ada<br />
pernyataan hukum yang menyatakan Soeharto bersalah atau<br />
tidak.<br />
Di negara demokrasi memang tidak dilarang orang<br />
memunculkan usulan atau wacana apalagi untuk<br />
menghormati jasa-jasanya. “Kalau bertentangan (dengan Tap<br />
MPR), itu sesuatu yang belum kita bahas. Kalau ternyata<br />
Soeharto terbukti secara hukum, sesudah menghormati asas<br />
praduga tak bersalah, ternyata terbukti melakukan kesalahan,<br />
saya kira pemerintah akan sangat berhati-hati memberikan<br />
gelar kepahlawanan kepada pihak yang dinyatakan bersalah<br />
itu, “ ujarnya.<br />
Hidayat sangat menyayangkan wacana itu muncul tidak lama<br />
setelah Soeharto wafat karena dinilai justru menimbulkan<br />
kontroversi. Pasalnya, wacana itu dimunculkan saat kasus<br />
Soeharto masih berlanjut di persidangan dan belum ada<br />
kepastian hukum. Apalagi, saat ini kasus perdata tentang<br />
Yayasan Supersemar masih digelar di Pengadilan Negeri<br />
Jakarta Selatan.<br />
Hidayat juga menegaskan, semua Tap MPR yang dikeluarkan<br />
terkait penyelenggaraan negara yang bersih dari KKN,<br />
semuanya masih berlaku kendati Soeharto sudah wafat.<br />
“Tentu Tap ini tidak menjadi luluh, apalagi tercabut, dengan<br />
wafatnya Soeharto. Tap MPR ini tidak secara khusus hanya<br />
mengatur Soeharto. Beliau hanya satu dari sekian hal yang<br />
diatur dalam Tap itu sehingga harus dijalankan, “ tegasnya.<br />
Pengadilan rakyat<br />
Kegagalan negara untuk menuntut pertanggungjawaban<br />
Soeharto terhadap tindak pidana korupsi maupun pelanggaran<br />
HAM, tidak menyurutkan inisiatif dikalangan masyarakat sipil<br />
untuk membuat mekanisme alternatif. Salah satu cara yang bisa<br />
digunakan oleh masyarakat sipil adalah dengan melakukan<br />
pengadilan rakyat.<br />
Istilah pengadilan rakyat memang bisa dirasa asing. Kadang<br />
istilah pengadilan rakyat disamakan dengan istilah main hakim<br />
sendiri yang merupakan tindakan penghukuman masyarakat<br />
terhadap pelaku tindak pidana. Istilah pengadilan rakyat ini<br />
mengambil dari people tribunal yang pernah digelar oleh<br />
masyarakat sipil di Jepang maupun di Eropa Timur terhadap<br />
kejahatan rejim.<br />
Seperti di Burma, membentuk Mahkamah atau Pengadilan<br />
Rakyat yang menyelediki kasus kelangkaan pangan dan<br />
militerisme. Armenia, membentuk Pengadilan Rakyat untuk<br />
menyidangkan kasus pembunuhan massal atas penduduk sipil<br />
Armenia oleh pemerintah Turki. Dan di Jepang, mengadakan<br />
Mahkamah untuk mengadili kasus kejahatan perang mengenai<br />
perbudakan sexual yang dilakukan oleh pemerintah Jepang.<br />
Gerakan serupa juga dilakukan oleh gerakan masyarakat sipil<br />
di Indonesia tatkala sistem pengadilan saat ini enggan menguak<br />
berbagai peristiwa kejahatan masa lalau yang kian dilupakan.<br />
Tujuan diadakannya pengadilan rakyat ini untuk memberi<br />
kesempatan kepada korban/keluarga korban menyampaikan<br />
testimoni dihadapa publik terhadap peristiwa yang dialaminya.<br />
Testimoni dan keterangan saksi ahli terhadap peristiwa<br />
pelanggaran HAM itu diharapkan dapat menjadi pelajaran<br />
berharga bagi semua orang bahwa kejahatan yang pernah<br />
terjadi tidak dapat dilupakan begitu saja tanpa penghukuman.<br />
Dan peristiwa itu jangan kembali terulang dimasa datang.<br />
Sejak tanggal 12-13 Februari para aktivis yang tergabung dalam<br />
gerakan masyarakat Kesatuan Rakyat adili Soeharto (KERAS)<br />
melakukan pengadilan rakyat di Tugu Poklamasi. Dengan sistem<br />
yang menyerupai pengadilan di Indonesia, ada jaksa, majelis<br />
hakim dan sejumlah saksi pun dihadirkan. Dibawah patung<br />
Soekarno-Hatta, saksi-saksi yang dihadirkan korban<br />
pelanggaran HAM yang terjadi di era Orde baru: mulai peristiwa<br />
65, Tanjung Priok 1984, Penembakan Misterius 1983, Talangsari<br />
1989, Marsinah tahun 1993, penculikan aktivis 97-98, hingga<br />
peristiwa Trisakti dan Semanggi, digelar secara terbuka.<br />
Layaknya pengadilan pidana biasa, syarat-syasat formil dan<br />
materil hukum acaranya mengikuti sistem hukum acara yang<br />
berlaku. Dengan majelis hakim berjumlah tiga orang dan tiga<br />
jaksa penuntut umum, sidang diawali dengan pembacaan<br />
dakwaan dari jaksa penuntut. Dalam dakwaanya, Soeharto<br />
beserta kroninya , selama menjabat sebagai presiden sejak tahun<br />
1966-1998, telah melakukan pelanggaran HAM berat berupa<br />
kejahatan kemanusiaan dan melanggar Undang-undang No 26<br />
Tahun 2000 tentang pengadilan HAM.<br />
Hari pertama sidang dimulai dengan pembacaan dakwaan dan<br />
dilanjutkan kesaksian. Saksi-saksi yang dimintai keterangan<br />
Berita Kontras No.01/I-II/2008 5