05.01.2015 Views

download - KontraS

download - KontraS

download - KontraS

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Penurunan Bendera Setengah Tiang<br />

Oleh : Usman Hamid<br />

Suatu hari saya dikirimi surat<br />

elektronik oleh seorang sahabat yang<br />

bertanya mengapa <strong>KontraS</strong> menolak<br />

menurunkan bendera setengah tiang<br />

selama 7 hari berkabung atas<br />

perginya mantan Presiden Soeharto.<br />

Pengibaran bendera 1/2 tiang selama<br />

7 hari memang dilakukan dengan<br />

merujuk Pasal 125 ayat (4) PP No.62/<br />

1990 yang ditetapkan 26 Desember<br />

1990. Namun jika kita menelusuri<br />

area-area pemukiman penduduk di<br />

sekitar kita, ada begitu banyak warga<br />

masyarakat yang tak menurunkan bendera setengah tiang<br />

sebagaimana diinstruksikan pemerintah. Apakah ini sebuah<br />

tanda ketidakpatuhan warga sipil atas kebijakan pemerintah<br />

(civil disobedience)<br />

Apapun jawabannya, instruksi pemerintah tersebut malah<br />

mencerminkan kepribadian ganda Negara. Di satu sisi<br />

menempatkan Soeharto sebagai terdakwa korupsi tujuh<br />

yayasan, tapi pada saat yang sama ingin menempatkannya<br />

sebagai prajurit terbaik dan negarawan sejati, lalu<br />

menempatkan kejahatan korupsi yang dituduhkan kepadanya<br />

dalam ruang lingkup kekhilafan di ranah privat. Ada dua alasan.<br />

Pertama, penurunan bendera sebagai act of obedience. Pengibaran<br />

bendera sebagai tindakan<br />

kepatuhan dalam sudut<br />

pandang legal institusional atau<br />

positivisme (formalisme<br />

hukum) meminta kita<br />

mematuhi instruksi Presiden/<br />

pemerintah atas kematian<br />

mantan penguasan rejim Orde<br />

Baru Soeharto.<br />

Instruksi negara perlu<br />

dipisahkan dari otonomi<br />

personal dan kemerdekaan<br />

berpikir, berkeyakinan dan cara<br />

bersikap warganya. Sebagai<br />

warga demokratik, kita<br />

berusaha tak terjebak ke dalam<br />

cara berpikir “Befehl is befehl”<br />

(instruksi adalah instruksi),<br />

apalagi menafsirkan peraturan<br />

sebagaimana pihak yang kuat (pemerintah yang berkuasa saat<br />

ini) menafsirkannya begitu saja.<br />

Sebagai ilustrasi, andai pemerintah mengesahkan peraturan<br />

wajib militer bagi setiap warga berusia 18-45 tahun untuk<br />

mempertahankan negara, apakah itu berarti semua warga harus<br />

patuh Apakah jika ada yang menolak kewajiban itu lalu kita<br />

anggap sama dengan menolak untuk mempertahankan<br />

negara/negeri/republik Jawaban atas dua pertanyaan ini<br />

adalah satu, tidak.<br />

Mempertahankan tanah air tempat kita dilahirkan adalah<br />

hak sekaligus kewajiban moral/etis. Tapi itu bisa lewat<br />

beragam cara. Wamil hanyalah satu di antara banyak cara.<br />

Mereka yang berkeyakinan untuk memegang teguh keyakinan<br />

ahimsa atau nir-kekerasan tentu menolak untuk mengikuti<br />

wamil karena dinilai mengandung unsur kekerasan. Mereka<br />

yakin bahwa hidup bersama dalam perdamaian bisa<br />

ditempuh dengan cara yang beradab/tanpa kekerasan. Jalan<br />

militer/perang terbukti memakan ongkos besar, persenjataan,<br />

uang hingga biaya kemanusiaan yang kerap menimbulkan<br />

kesedihan, derita dan kertelukaan.<br />

Adalah sah bila seorang warga menolak untuk ikut wamil<br />

demi mempertahankan negara. Sikap ini merupakan bagian<br />

dari hak seseorang atas kemerdekaannya dalam berpikir dan<br />

berkeyakinan. Hukum internasional/nasional tentang Hakhak<br />

Sipil dan Politik menjamin hak setiap orang yang menolak<br />

memenuhi panggilan wajib militer (consentious objectors).<br />

Komisi HAM PBB meminta tiap negara menyediakan<br />

alternatif bela negara selain wamil, seperti pemadam<br />

kebakaran, ahli teknologi dst.<br />

Di sini paham pertahanan tak sekadar dipahami sebagai<br />

military based defence tapi juga civilian based defence. Sebagian besar<br />

negara-negara kini telah menghapus wajib militer.<br />

Aksi menuntut pengadilan terhadap Soeharto<br />

Dok.Kontras<br />

Ada banyak ilustrasi yang<br />

dapat dikemukakan untuk<br />

melihat peraturan sebagai<br />

peraturan, perintah sebagai<br />

perintah. Misalnya,<br />

pandangan realisme hukum<br />

yang meyakini bahwa<br />

keputusan hakim boleh<br />

berbeda dengan teks hukum<br />

atau peraturan. Ini karena<br />

definisi hukum kerap<br />

menjadi kabur saat<br />

disandingkan dengan<br />

kenyataan. Demi kebenaran,<br />

demi keadilan, hakim bisa<br />

menembus normatifitas<br />

hukum di atas kertas.<br />

Saya tak hendak<br />

menyamakan sikap dan cara kita memandang peraturan,<br />

melainkan hendak meminta pemerintah memperlakukan<br />

mereka yang sama dengan cara yang sama, dan dengan cara<br />

berbeda untuk mereka yang berbeda. Itu agar adil/fair. Dan<br />

kita yakin, pemerintah tak sedang memaksakan kehendaknya,<br />

dan karena itu pula saya bisa mengerti dan tetap<br />

menghormati mereka yang mengibarkan bendera setengah<br />

8<br />

Berita Kontras No.01/I-II/2008

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!