download - KontraS
download - KontraS
download - KontraS
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
BERITA UTAMA<br />
kemauan. Ifdhal mengusulkan pemerintah membentuk komisi<br />
klarifikasi yang bertugas melakukan klarifikasi, penelaahan, dan<br />
pemeriksaan terhadap tuduhan pelanggaran HAM Orde Baru.<br />
Dengan demikian identifikasi pertanggung jawaban menjadi<br />
jelas dan tidak terkesan balas dendam.<br />
Hal senada diungkapkan oleh aktivis M.Fadjroel Rachman.<br />
Menurutnya, sekalipun mantan Presiden Soeharto sudah<br />
meninggal, negara tetap harus melanjutkan proses hukum<br />
terhadap keluarga, kroni, dan loyalisnya. “Ini untuk<br />
menunjukkan kepada publik bahwa ini negara hukum, bukan<br />
negara halalbihalal, “ ujarnya.<br />
Sementara muncul pula pandangan lain,<br />
komunitas HAM internasional dapat mengenang<br />
Soeharto sebagai diktator lantaran hingga<br />
Soeharto meninggal dunia, pemerintah gagal<br />
menyelesaikan berbagai kasus dugaan<br />
pelanggaran HAM yang diduga melibatkannya.<br />
“Karena tidak ada proses hukum untuk<br />
mengklarifikasi sejumlah kasus pelanggaran HAM<br />
yang diduga melibatkannya, Soeharto dapat<br />
dilihat seperti mantan orang kuat Cile, Jenderal<br />
Augusto Pinochet, atau PW Botha, Presiden Afrika<br />
Selatan, “ kata Rafendi Djamin dari Human Rights<br />
Working Group.<br />
Jika ada proses hukum saat Soeharto masih hidup, lanjut Rafendi,<br />
kemungkinan munculnya kenangan sebagai diktator dapat<br />
hilang. Sebab, duduk perkara dari kasus-kasus itu sudah jelas<br />
dan para korban akan berhenti menuntut.<br />
Penilaian negatif komunitas HAM internasional kepada Soeharto,<br />
menurut Rafendi, mulai muncul setelah peristiwa Santa Cruz di<br />
Dili Timor Timur, 12 November 1991. Peristiwa itu memancing<br />
dipersoalkannya kembali kasus lain, seperti peristiwa Tanjung<br />
Priuk, Talangsari, dan gerakan yang terjadi 30 September 1965.<br />
“Kejadian ini harus menjadi pelajaran bagi pemerintah dengan<br />
menyelesaikan sejumlah kasus secepat mungkin, termasuk kasus<br />
yang diduga melibatkannya, “ kata Rafendi.<br />
Sedangkan Sekretaris Jenderal Perhimpunan Nasional Aktivis<br />
98 Adian Napitupulu menambahkan, proses hukum terhadap<br />
kroni Soeharto harus dilanjutkan. Sebab, proses hukum punya<br />
empat tujuan, yaitu memberi efek jera kepada para pelaku,<br />
memulihkan hak-hak korban, mencegah terulangnya peristiwa<br />
serupa, dan mencari kebenaran tentang yang sebenarnya terjadi.<br />
“Jika sekarang Soeharto sudah meninggal, berarti masih ada tiga<br />
tujuan lain dari proses hukum atas kasus-kasus yang diduga<br />
melibatkannya, “ ujar Adian.<br />
Tidak surut<br />
“Kalau bicara<br />
korban, sudah<br />
banyak. Tapi kalau<br />
bicara pelaku, yang<br />
mana Mereka<br />
tidak ada yang<br />
ngaku, “ ujar<br />
Sumarsih.<br />
Sementara kematian Soeharto juga tidak menyurutkan<br />
perjuangan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM.<br />
Mereka tetap yakin kejahatan HAM selama Soeharto berkuasa<br />
adalah kejahatan rezim dan bukan semata-mata kesalahan<br />
Soeharto sebagai individu. Meskipun demikian, kebijakan<br />
Soeharto semasa ia berkuasa terepresentasi dalam kebijakan<br />
negara yang represif.<br />
Direktur Eksekutif Agung Putri Astrid Kartika mengatakan,<br />
meskipun Soeharto meninggal dunia, masih banyak persoalan<br />
yang tertinggal. Menurut dia, kontruksi mesin kekuasaan<br />
Soeharto perlu dibongkar. Pembongkaran itu akan<br />
menampakkan siapa kroni-kroni Soeharto. Dengan demikian,<br />
mereka dapat dimintai pertanggung jawaban atas berbagai<br />
kasus pelanggaran HAM di masa lalu.<br />
Bagi para pejuang HAM dan korban, kematian Soeharto tidak<br />
memupuskan upaya mereka untuk mencari keadilan. Seperti<br />
yang diungkapkan oleh Sumarsih, Ibu BR Norma Irmawan,<br />
korban tragedi Semanggi, melihat upaya<br />
peradilan masih dapat ditempuh untuk itu.<br />
Meskipun hukum di Indonesia belum sepenuhnya<br />
menjamin keadilan. “Anak saya ditembak dari<br />
jarak dekat. Soal itu salah atau benar, itu harus<br />
diputuskan di pengadilan. Maaf-memaafkan pun<br />
harus dilakukan setelah ada proses pengadilan, “<br />
ujar Sumarsih.<br />
Sumarsih berharap pemerintah tetap membawa<br />
pelanggaran hak asasi manusia tersebut ke<br />
pengadilan. “Orang-orang yang harus<br />
bertanggung jawab pada peristiwa berdarah itu harus diadili,<br />
“ ujarnya.<br />
Demi perjuangan tersebut, meski pemerintah menetapkan<br />
hari berkabung nasional selama tujuh hari setelah wafatnya<br />
Soeharto, korban dan keluarga korban menggelar demo tujuh<br />
hari berturut-turut di depan Istana Merdeka, sebagai cara<br />
untuk menandai meninggalnya Soeharto. “Ini kami lakukan<br />
karena kematian Soeharto tidak diikuti dengan pemenuhan<br />
hak korban dan pelurusan sejarah, “ ujar Sumarsih.<br />
Langkah tersebut perlu ditempuh untuk mengingatkan<br />
pemerintahan Presiden SBY bahwa keadilan belum mereka<br />
dapatkan pasca wafatnya Soeharto. “Kalau bicara korban,<br />
sudah banyak. Tapi kalau bicara pelaku, yang mana Mereka<br />
tidak ada yang ngaku, “ ujar Sumarsih.<br />
Namun aksi tujuh hari ini digelar tanpa suara, apalagi caci<br />
maki. Korban dan kleuarga korban hanya berdiri,<br />
membentangkan poster dan mengenakan pakaian dan<br />
payung berwarna hitam.<br />
Kasus perdata dan gelar pahlawan<br />
Di sisi lain, kematian Soeharto juga masih menyisakan kasus<br />
hukum lainnya disamping sejumlah kasus pelanggaran berat<br />
HAM yang terjadi selama 32 tahun Soeharto berkuasa.<br />
Saat ini pemerintah tengah menggugat Soeharto dan Yayasan<br />
Supersemar Rp 11,5 triliun. Meski Soeharto telah meninggal<br />
Jaksa Agung, Hendarman Supandji, menegaskan, kasus<br />
perdata Soeharto tetap akan diteruskan.<br />
Senada dengan itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH)<br />
Jakarta, Asfinawati mendesak Kejaksaan Agung segera dan<br />
4<br />
Berita Kontras No.01/I-II/2008