22.08.2016 Views

Pelanggaran Hak Perempuan Adat dalam Pengelolaan Kehutanan

BUKU-2-PELANGGARAN-HAK-PEREMPUAN-ADAT-DALAM-PENGELOLAAN-KEHUTANAN

BUKU-2-PELANGGARAN-HAK-PEREMPUAN-ADAT-DALAM-PENGELOLAAN-KEHUTANAN

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

xvi<br />

<strong>Pelanggaran</strong> <strong>Hak</strong> <strong>Perempuan</strong> <strong>Adat</strong> <strong>dalam</strong> <strong>Pengelolaan</strong> <strong>Kehutanan</strong><br />

dimana sejumlah suku Papua bahkan dulu mampu melahirkan sendiri<br />

dan menghentikan pendarahan dengan tumbuhan hutan.<br />

Pembangunan jalan di Papua atau wilayah Timur bisa dilihat sekilas<br />

sebagai satu kemajuan, tetapi perempuan adat yang kami tanya,<br />

mengatakan bahwa mereka tidak punya kendaraan, harus bayar ojek<br />

650 ribu untuk jarak pendek, dimana kalau di Jakarta hanya 35 ribu,<br />

atau harus keluar biaya 2 juta untuk sewa kendaraan ke Rumah sakit<br />

saat mau melahirkan. Sudah bisa ditebak pilihan apa bagi perempuan<br />

miskin dengan kondisi seperti ini. Perumahan-perumahan dibangun<br />

tanpa melihat kebatinan pola hidup masyarakat adat, dipampang di<br />

pinggir jalan <strong>dalam</strong> bentuk kompleks sebagai bantuan perumahan,<br />

karena lahan yang sudah diambil alih. Padahal pola perempuan adat<br />

tersebut, adalah masyarakat yang senang dekat laut dan air, sehingga<br />

rumah-rumah tersebut kosong, dan perempuan-perempuan adat ini<br />

berkerumun dengan rumah jauh dari sehat di tepi-tepi pantai yang jauh<br />

dari fasilitas apapun. Kita kalah dengan Vietnam yang membangun<br />

fasilitas kesehatan dan pendidikan justeru dekat dengan aktifitas<br />

perempuan, yakni di tepi sungai, untuk menekan angka kematian ibu<br />

dan akses pendidikan.<br />

Akan tetapi, dari semua lapis persoalan di atas, harus diapresiasi<br />

dengan lahirnya organisasi perempuan adat yang mengadakan kongres<br />

pertama di Tobello tahun 2012. Langkah maju ini, bahkan membuka<br />

kesempatan bagi perempuan adat untuk duduk <strong>dalam</strong> posisi strategis<br />

<strong>dalam</strong> organisasi adat juga sudah menggeliat. Para penggiat perempuan<br />

adat juga tekun dan bernas untuk pengaruhi kebijakan adat agar punya<br />

perspektif perempuan.<br />

Lebih jauh temuan Komnas <strong>Perempuan</strong> dari hasil risetnya, antara lain,<br />

kekerasan terhadap perempuan atas nama adat dan budaya terjadi di<br />

sana-sini, dari pembayaran denda dengan binatang bagi pelaku<br />

perkosaan yang kerap mengukuhkan impunitas, pemberian kompensasi<br />

pada korban kekerasan seksual kepada lembaga adat dan tidak<br />

diberikan pada perempuan korban, dan mengawinkan korban perkosaan<br />

dengan pelaku sebagai solusi tanggung jawab.<br />

Farida Shaheed, pelapor khusus HAK budaya PBB, saat diundang<br />

Komnas <strong>Perempuan</strong> tahun 2012, <strong>dalam</strong> konsultasi tersebut dihadirkan<br />

sejumlah mitra dari organisasi perempuan, termasuk penggiat<br />

perempuan adat, menandaskan bahwa kekerasan atau pelanggaran<br />

HAM atas nama budaya, adat, agama harus dikritisi dan direformasi.<br />

Dengan kata lain, jangan sampai berjuang melindungi masyarakat adat

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!