Merawat Kebersamaan - Democracy Project
Merawat Kebersamaan - Democracy Project
Merawat Kebersamaan - Democracy Project
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
–<strong>Democracy</strong> <strong>Project</strong>–<br />
Selain itu, “fundamentalisme” sering jadi keranjang<br />
sampah untuk menyebut semua paham atau gerakan Islam<br />
yang di-anggap menentang modernitas, yang pemaknaannya<br />
sudah lama didominasi Barat. Maka, misalnya, jika sistem<br />
politik yang dominan di satu negara adalah demokrasi, siapa<br />
yang menentangnya berarti “fundamentalis”. Karena sebabsebab<br />
di atas, “Islamisme” mengandung makna lebih asli. Kata<br />
itu juga lebih bernuansa dalam menggambarkan keragaman<br />
umat Islam.<br />
Sayangnya, belakangan “Islamisme” pun sudah jadi<br />
keranjang sampah. “Islamis” diidentikkan dengan ekstremis,<br />
kalau bukan teroris, yang bersedia melakukan kekerasan atas<br />
nama Islam.<br />
Dus, makna “Islamisme” perlu direhabilitasi. Variasi<br />
internalnya harus ditegaskan kembali. Dengan begitu, kita<br />
dimungkinkan untuk menisbatkan sesuatu secara lebih adil<br />
kepada seorang atau sekelompok muslim. Sebab, menyebut<br />
semua “Islamis” adalah ekstremis atau teroris jelas salah<br />
kaprah, hanya akan memperumit masalah, bahkan berbahaya.<br />
‘Islamisme’ Awal<br />
Cara mudah pertama mencirikan “Islamis” adalah dengan<br />
menunjuk siapa yang bukan mereka. Di Indonesia, kita mengenal<br />
istilah “muslim KTP” atau “muslim abangan”, yang<br />
dipopulerkan oleh antropolog Clifford Geertz. Mereka jelas<br />
bukan Islamis. Mereka muslim nominal. Tapi, Muslim non-<br />
Islamis lebih luas dari itu. Saya punya banyak kawan yang<br />
96<br />
Rizal Panggabean dan Ihsan Ali-Fauzi