Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007, Volume I, No. 2hak untuk menolak melakukan rutinitaskeseharian yang dianggap membosankan.Hampir sama dengan pendapat itu, DickHebdige dalam Hiding in the Light (1988)menyatakan bahwa remaja telah dikonstruksikandalam wacana “masalah” dan “kesenangan”(remaja sebagai pembuat masalah dan remajayang hanya gemar bersenang-senang). Misalnya,dalam kelompok pendukung sepakbola dan genggeng,remaja selalu diasosiasikan dengankejahatan dan kerusuhan. Di pihak lain, remajajuga direpresentasikan sebagai masa penuhkesenangan, di mana orang bisa bergaya danmenikmati banyak aktivitas waktu luang.Remaja dalam kebudayaan populer dapatkita temukan dalam berbagai cerita yangmenjadikan remaja sebagai pahlawannya ataulagu-lagu yang bertema masalah yang dihadapiremaja, informasi yang mengungkap mode dangaya hidup lainnya untuk remaja. Tetapi yangutama bukan unsur yang mengandungkeremajaan itu, melainkan golongan remajasebagai pembeli. Menjadikan mereka sebagaipelaku, atau masalah mereka sebagai fokus,dengan sendirinya akan menggampangkanpemasaran suatu produk kebudayaan populer.Berbagai media informasi menciptakancitra diri sebagai bagian kehidupan remaja kelasatas ini yang umumnya menginformasikanberbagai tata cara bergaul maupun perlengkapanhobi yang relevan bagi remaja. Sampai aksesorisyang cocok digunakan dalam berbagaikesempatan, merupakan informasi yang dianggaplayak berita. Atau cerita para idola remaja yangmendominasi dunia hiburan yang gaya hidupnyasering mereka tiru.Dunia musik populer sebagaimanahalnya juga film, tak bisa terlepas dari pelakunyayaitu penyanyi dan pemain. Pelaku ini jugamenjadi bagian dari gaya hidup yang ditawarkankepada para remaja. Penyanyi dan bintang remajayang tampil, untuk memenuhi impian masaremaja, mestilah cantik dan tampan. Di luarliriknya, musik populer juga dapat mengacukepada gaya hidup tertentu. Dan yang berfungsidi sini adalah ritme yang dapat digunakan untuktarian tertentu. Ritme disco, misalnya, mengacukepada gaya hidup kota sementara dangdut untukkelompok pinggiran.Lirik lagu populer umumnya dalambahasa Indonesia yang tidak mengacu kepadasalah satu gaya tertentu. Baru setelah melaluipemancar-pemancar radio swasta, lagu-lagu inidiantarkan dengan dialek Jakarta. Bahkan bagipenyiar di radio swasta di kota kabupatenpedalaman Jawa Tengah pun dialek Jakarta inisudah menjadi semacam keharusan dalammengantarkan lagu-lagu populer, terutama untukacara-acara pilihan pendengar.Dialek ini tidak mengacu kepada subbudayaBetawi, tetapi kepada dialek Jakarta yangbiasa digunakan remaja gedungan. Denganbegitu radio-radio swasta ini, sampai kepedalaman, telah menopang lagu-lagu populerIndonesia dengan gaya hidup khas Kota Jakarta,dalam hal ini remaja kelas atasnya (Ibrahim,1997: 232-236).Norma Masyarakat dan Gaya HidupMenurut Weber, konsumsi jugamerupakan gambaran gaya hidup tertentu darikelompok status tertentu. Konsumsi terhadapbarang merupakan landasan bagi penjenjangandari kelompok status, konsumsi juga dapatdijadikan penggunaan barang-barang simbolikkelompok tertentu. Dengan demikian iadibedakan dari kelas yang landasanpenjenjangannya adalah hubungan terhadapproduksi dan perolehan barang-barang. Dalamhal ini konsumsi seseorang menentukan gayahidup seseorang. Karena penggunaan barangbarangsimbolik itu tadi seperti pemilihankonsumsi gaya berpakaian, selera dalam hiburan,selera konsumsi terhadap makanan dan minumanmenentukan dari kelas mana ia berada.Konsumsi atau perbedaan selera terhadap suatubarang juga dapat menggeser norma yang ada didalam suatu masyarakat. Norma budaya danagama tidak lagi dijadikan pedoman dalamberperilaku, suatu masyarakat yang tadinyamerasa segan untuk menunjukkan kekayaanmiliknya sekarang tidak segan denganmengkonsumsi barang-barang tertentu ia inginmenunjukkan identitas dirinya misalnya sajamasyarakat abangan yang memiliki seleramengkonsumsi barang-barang dari produk Barat.Masyarakat abangan dengan pengaruhmedia informasi banyak mengikuti gayaberpakaian yang mengikuti dunia barat karenapada masyarakat abangan dalam hubunganmanusia dengan agama bukan merupakankeharusan agama tidak harus menjadi tuntutanperilaku, ia digantikan oleh etika sosial yangdikonstruksi masyarakat atas kenyataan.Misalnya wanita abangan menggunakan tank top,rok mini, celana jeans, gaya rambut rebonding,72
Hastuti dan Sudarwati, Gaya Hidup Remaja Pedesaan...selera musik rock, atau pop. Pria abanganmenggunakan celana hipster, baju berlapis-lapisatau disebut anak skaters, rambut modelMohawk.Masyarakat santri adalah kebalikannya,hubungan antara manusia dan agama merupakankemutlakan. Agama haruslah menjadi tuntunanperilaku. Ia menjadi rujukan apakah suatu perilakuitu baik atau tidak. Perkembangan masyarakat santritelah pula menyebabkan menjamurnya rumahrumahmode yang khusus memperdagangkanbusana muslim dan muslimah.Berkembangnya toko-toko yang khususmenjual produk-produk yang berhubungandengan simbol-simbol keagamaan seperti bukubuku,pakaian yang dinilai islami, gantungan,kunci, stiker. Perkembangan teknologi informasibukan hanya menawarkan gaya pakaian muslimdan muslimah tetapi juga semakin maraknyafilm-film Islami di televisi, dan lagu-lagu Islami.Bahkan acara reality show pencarian da’i.Gaya Hidup Masyarakat Desa dan Interaksinyadengan Masyarakat KotaSepanjang masa, sebagian besarkomunitas desa di Indonesia, dari daerah Acehhingga Irian Jaya, telah di dominasi kekuasaanpusat tertentu sejak zaman kejayaan kerajaankerajaantradisional atau zaman penjajahanBelanda atau Inggris, dan banyak pula yangmengalaminya sejak beberapa waktu tahunterakhir ini. Dengan demikian, juga karena makinberkembangnya kesempatan dan prasarana untuksuatu gaya hidup dengan mobilitas geografikalyang tinggi, pada waktu sekarang ini hampirtidak ada lagi komunitas desa bersahaja, yangterisolasi dari negara kita ini, yaitu desa yangpenduduknya tidak sadar akan dunia luar di desaitu. Misalnya banyak orang pedesaan, bagian dariperadaban-peradaban kuno, yang menggaraptanah mereka sebagai mata pencaharian hidup,dan mempunyai cara hidup yang tradisional.Mereka itu berorientasi terhadap pengaruh olehsuatu golongan priayi di kota yang mempunyaicara hidup yang sama seperti mereka walaupundalam bentuk yang lebih beradab.Perbedaan konsep masyarakat desa dankota menurut Durkheim adalah solidaritasmekanis untuk masyarakat desa, dan solidaritasorganis untuk masyarakat kota. Sedangkanmenurut Tonnies membedakan masyarakat desadan kota dengan gesselschaft dan gemeinschaft.Konsep tentang desa dan masyarakatnya saat initelah mengalami perubahan yang cukup besarakibat berkembangnya teknologi dan informasi.Sentuhan kebudayaan kota menjadikan desa tidaklagi terbatas oleh teritorial namun meluas, danbeda antara desa dengan kota kecil. Bahkan ciridesa telah mampu melampaui perkembanganpenyiaran TV, dan berbagai media lainnya. Olehkarena itu menganggap desa sebagai masyarakatstatis jauh dari perubahan dan selalu tentramtentu keliru (Purnomo, 2004: 9).Satu abad yang lalu masyarakat desa dankota perbedaannya masih amat menonjol, karenapada waktu itu masyarakat desa masih tinggalstatis. Sedangkan saat ini banyak masyarakatdesa melakukan urbanisasi membawa ciri-ciridan terutama karakteristik pedesaan ke kota.Maka dari itu, pada masa sekarang menjadi amatsukar untuk membedakan antara masyarakat desadan masyarakat kota, kecuali hanya dalam hal-halseperti jumlah pendudukan, heterogenitaspenduduk, dan tingkat teknologi modern.Adapun jenis penelitian ini adalahpenelitian studi deskriptif dengan menggunakanpendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dapatdiartikan sebagai pendekatan yang menghasilkandata, tulisan, dan tingkah laku yang didapat dariapa yang diamati. Penelitian deskriptif inidigunakan untuk menggambarkan ataumelukiskan apa yang diteliti dan berusahamemberikan gambaran yang jelas mengenai apayang menjadi pokok penelitian. Berkenaandengan penelitian ini sebagai studi deskriptifmaka penelitian ini akan menggambarkan ataumendeskripsikan gaya hidup remaja desaSukaraya saat ini dan yang menyebabkan gayahidup seperti itu berkembang.Yang menjadi unit analisis dalam subyekpenelitian ini adalah seluruh warga DesaSukaraya. Sedangkan sebagai informan daripenelitian ini adalah kaum remaja dan orang tuayang memiliki anak remaja di Desa Sukarayatersebut. Informan dipilih atas pertimbangan dankriteria tertentu yang telah ditetapkan olehpeneliti.Adapun kriteria informan dalampenelitian ini adalah:1. Informan kunci yaitu mereka yangmengetahui dan memiliki berbagai informasipokok yang diperlukan dalam penelitian.Perangkat desa dan tokoh masyarakat DesaSukaraya, atau warga masyarakat biasa yangmempunyai anak remaja. Informan dipilihyang dianggap mengetahui mengenai73
- Page 7 and 8: Khairifa, Komparatif tentang Pendek
- Page 9 and 10: Khairifa, Komparatif tentang Pendek
- Page 11 and 12: Khairifa, Komparatif tentang Pendek
- Page 13 and 14: Khairifa, Komparatif tentang Pendek
- Page 16 and 17: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 18 and 19: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 20 and 21: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 22 and 23: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 24 and 25: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 28 and 29: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 30 and 31: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 32 and 33: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 34 and 35: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 36 and 37: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 38 and 39: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 40 and 41: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 42 and 43: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 44 and 45: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 46 and 47: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 48 and 49: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 50 and 51: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 52 and 53: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 54 and 55: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 56 and 57: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 58 and 59: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 60 and 61: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 62 and 63: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 64 and 65: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 66 and 67: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007