Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007, Volume I, No. 2BADAN MUSYAWARAH MASYARAKAT MINANG (BM3)(Studi Deskriptif tentang Fungsi Organisasi Sosial Suku Bangsa Minangkabaudi Kota Medan)Innike Rahma DewiErmansyahAbstract: Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3) is an ethnic organization whichestablished by the Minangkabau people. The organization has four different functions,consist of, the function for integration, adaptation, latent pattern maintenance, and goalattainment. These functions and all other aspects of the organization are the main issueson the research.Keywords: Badan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3)PENDAHULUANSalah satu kekayaan yang dimiliki olehbangsa Indonesia adalah keragaman budaya yangdicerminkan oleh banyaknya suku bangsa yangmendiami tanah Nusantara ini. Lebih lanjut,menurut Melalatoa jumlah suku bangsa diIndonesia ini mencapai kurang lebih 500 etnis(Depdikbud, 2000: 1). Di antara ratusan sukubangsa tersebut, suku bangsa Minangkabauadalah salah satu suku bangsa yang terkenaldengan keunikannya. Keunikan itu terlihat darisistem kekerabatan matrilineal yang mereka anut.Menurut Geertz, Minangkabau sebagaisalah satu suku bangsa di Indonesia, mempunyaibudaya yang menyerupai budaya masyarakatpesisir (http//www.rantau.net.com). Lebih dijelaskanbahwa pada kenyataannya mereka adalah kelompokkomunitas pedalaman yang menempati daerahseputar Bukit Barisan. Salah satu ciri masyarakatpedalaman adalah kecenderungannya pada pertaniansebagai sumber kehidupannya. Namun ciri tersebuttidak sepenuhnya melekat pada suku bangsaMinangkabau. Dalam perspektif sejarah perdagangan,komunitas Minangkabau telah berperan pentingdalam perdagangan merica yang seharusnyadilakukan oleh masyarakat pesisir. Di sampingitu, keunikan lain yang dimiliki suku bangsaMinangkabau adalah cepatnya komunitas inibersinggungan dengan ajaran Islam yangbiasanya hanya dialami oleh masyarakat pesisir.Terlepas dari semua keunikan di atas,suku bangsa Minangkabau terkenal dengantradisi merantau. Merantau dalam pengertian disini adalah meninggalkan kampung halamanmereka dan menetap di tempat lain yangdianggap dapat memberikan kehidupan yanglayak (Amir B, 1982: 219).Kegiatan merantau memang tidak dapatdipisahkan dari suku bangsa Minangkabau. Padaawalnya merantau didorong oleh kebutuhanperluasan wilayah karena tempat asal di daerahpedalaman <strong>Sumatera</strong> Barat atau luhak nan tigotidak lagi memadai luasnya untuk menunjangkehidupan. Mereka memerlukan tanah garapan baruuntuk pertanian, sehingga suku bangsa Minangkabaumemperluas daerah mereka dengan memasukkanpantai Barat ke dalam lingkungan wilayahmereka seperti Pariaman, Padang, BandarSepuluh sejak abad ke-6 (Naim, 1984: 61-66).Proses merantau menurut Naim (1984:228) disebabkan oleh tiga faktor, yaitu: faktorekologi dan geografis 1 , faktor ekonomi 2 danfaktor pendidikan 3 . Selain faktor-faktor itu,proses merantau pada suku bangsa Minangkabaujuga didorong oleh nilai budayanya (Pelly, 1988:19). Hal itu tertuang dalam pepatah berikut:1Minangkabau adalah daerah yang terpencil di luar pusatperdagangan dan politik sehingga orang luar tidak mungkinmendatangi Minangkabau. Sebagai akibatnya, suku bangsaMinangkabaulah yang harus keluar. Selain itu, Minangkabau adalahdaerah yang subur yang sangat cocok untuk daerah pertanian, tetapikarena tingkat pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, tanahtersebut tidak cukup untuk memenuhi semua kebutuhan hiduppenduduknya. Oleh karena itu, merantau menjadi salah satu jalankeluarnya.2Di mana keadaan ekonomi di kampung tidak lagi sanggupmenahan mereka, sedangkan dari luar faktor penarik yangdisebabkan oleh pembangunan juga bertambah kuat.3Faktor pendidikan telah terbukti menjadi faktor pendorong yangmampu merangsang yang lainnya untuk ikut merantau, karenasetiap pelajar yang pergi merantau membukakan jalan bagi pelajarberikutnya untuk melakukan hal yang sama. Cerita-cerita tentangkemajuan dan keberhasilan yang terdengar dalam pencapaianpendidikan oleh para pelajar ini di rantau mendorong yang mudamudauntuk mengikuti jejak langkahnya. Para lulusan yang mudamudaini biasanya tidak kembali ke kampung, tetapi sebaliknyamenetap di rantau. Bahkan banyak di antaranya yang kemudianmenjadi orang orang-orang penting. Hal ini sudah cukup untukmembangkitkan keinginan anak-anak muda Minangkabau yangmasih di kampung untuk mengikuti jejak langkahnya.Innike Rahma Dewi adalah Alumni Departemen Sosiologi FISIP USUErmansyah adalah Dosen Departemen Sosiologi FISIP USU Medan96
Dewi dan Ermansyah, Badan Musyawarah Masyarakat...Karatau madang di huluBabuah babungo alunMarantau bujang dahuluDi rumah baguno balun(Karatau madang di huluBerbuah berbunga belumMerantau bujang dahuluDi rumah berguna belum)Bagi suku bangsa Minangkabau,seseorang belum dianggap dewasa dan bergunabagi kampungnya jika ia belum merantau.Merantau dianggap sebagai masa “inisiasi” (masaperalihan) kedewasaannya, sekaligus untukmemperlihatkan bahwa dirinya mampu menunaikanmisi budaya di rantau. Mereka menganggap proseskedewasaan tidak akan sempurna apabila tidakmelalui masa inisiasi di rantau. Gadang dikampuang (besar di kampung) adalah besar yangdibesarkan orang, sedangkan besar di rantauadalah besar seorang diri atau gadang surang.Dengan demikian, ilmu dan pengalaman di rantaudilihat sebagai kelengkapan mutlak untukmengukur kedewasaan seseorang.Salah satu kota yang menjadi tujuanmerantau adalah Kota Medan. PerkembanganKota Medan yang cukup pesat dari waktu kewaktu mendorong terjadinya migrasi besarbesarandari berbagai suku bangsa untukmencoba mengadu nasib di kota ini, takterkecuali suku bangsa Minangkabau. Besarnyamigrasi dari berbagai suku bangsa pendatang inijumlahnya tidak tetap dan sangat dipengaruhioleh situasi dan kondisi saat itu.Lebih lanjut, Naim (1984) menjelaskanbahwa besarnya migrasi suku bangsaMinangkabau ke Kota Medan pada tahun-tahunpermulaan tidak pernah terdata secara pasti.Namun data sensus pada tahun 1930 menunjukkanangka sebanyak 5.048 jiwa suku bangsaMinangkabau yang bertempat tinggal di KotaMedan. Dalam jangka waktu lima puluh tahunkemudian yaitu tahun 1980 terjadi kenaikandengan total jumlah penduduk 141.507 jiwa.Keberadaan suku bangsa Minangkabaudi Kota Medan pada masa dahulu dari tahun ketahun jumlahnya tidak tetap. Hal ini dipengaruhioleh keadaan atau situasi politik pada masa itu,baik di daerah rantau ataupun di daerah asalnya.Misalnya pada masa Perang Dunia II dan perangkemerdekaan Indonesia, kebanyakan perantaukembali ke kampungnya. Sedangkan ketikaterjadi pemberontakan PRRI jumlah perantau keKota Medan meningkat. Namun, data statistikmenunjukkan bahwa angka rata-rata kenaikanperantau Minangkabau sejalan dengan kenaikanrata-rata penduduk Kota Medan secarakeseluruhannya.Beradanya suatu kelompok masyarakattertentu di daerah perantauan bukan berarti hanyamerupakan sekumpulan orang-orang yang tersebar ditanah rantau, tetapi mereka juga makhluk sosial yangmengaktualisasikan budayanya. Oleh karena itu,orang-orang yang tinggal di daerah rantau inibiasanya membentuk suatu kelompok-kelompoksesuku bangsa atau sedaerah guna memenuhikebutuhan psikologis mereka.Kelompok sesuku bangsa yang dibentukoleh perantau ini, biasa disebut paguyuban(Depdikbud, 2000: 2). Paguyuban dapat berbentukatau bersifat kesukubangsaan maupun kedaerahan.Kata paguyuban sendiri berasal dari kata “guyub”dalam bahasa Jawa yang artinya “bersama-sama”atau “kumpul”. Paguyuban yang bersifatkesukubangsaan, anggotanya berasal dari sukubangsa yang sama atau satu suku bangsa, misalnyaBadan Musyawarah Masyarakat Minang (BM3),Putra Jawa Kelahiran <strong>Sumatera</strong> (PUJAKESUMA).Paguyuban yang bersifat kedaerahan, anggotanyaberasal dari daerah yang sama atau satu daerah.Bisa yang berasal dari satu kotamadya, kabupatenmaupun daerah propinsi, seperti Ikatan KeluargaLabuhan Batu (IKLAB). Dengan demikianpaguyuban suku bangsa mengacu pada kesatuansuku bangsa. Sedangkan paguyuban kedaerahanmengacu pada kesatuan daerah asal. Konseppaguyuban dalam penelitian ini juga identik ataudisamakan dengan organisasi sosial. Oleh karenaitu, untuk selanjutnya dipergunakan konseporganisasi sosial.Lebih lanjut, munculnya berbagai organisasisosial di daerah-daerah perantauan ini dapatdipandang sebagai sesuatu yang positif. Dengan haltersebut, maka pengenalan antarbudaya sekaligusinteraksi di antara suku bangsa segera dapatdiwujudkan. Hal ini sangat penting sebab stereotypestereotypepeninggalan penjajah yang dimaksudkanuntuk memecah belah antar suku bangsa segeradapat dikikis. Di samping itu, organisasi sosial yangada di daerah perantauan juga akan menjadisemacam wadah guna menjalin persatuan dankesatuan dalam upaya mempercepat pembangunan.Demikian juga halnya yang terjadidengan suku bangsa Minangkabau yang merantaudi berbagai daerah yang berada di Indonesia.97
- Page 7 and 8: Khairifa, Komparatif tentang Pendek
- Page 9 and 10: Khairifa, Komparatif tentang Pendek
- Page 11 and 12: Khairifa, Komparatif tentang Pendek
- Page 13 and 14: Khairifa, Komparatif tentang Pendek
- Page 16 and 17: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 18 and 19: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 20 and 21: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 22 and 23: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 24 and 25: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 26 and 27: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 28 and 29: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 30 and 31: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 32 and 33: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 34 and 35: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 36 and 37: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 38 and 39: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 40 and 41: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 42 and 43: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 44 and 45: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 46 and 47: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 48 and 49: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 52 and 53: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 54 and 55: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 56 and 57: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 58 and 59: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 60 and 61: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 62 and 63: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 64 and 65: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 66 and 67: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007