Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007, Volume I, No. 2Masyarakat Minang (BM3) danperkembangannya hingga saat ini. Hal iniditujukan untuk mendapatkan data-data yangakurat dan mendetail tentang BadanMusyawarah Masyarakat Minang (BM3) danfungsinya bagi suku bangsa Minangkabau diKota Medan.b) Informan biasa yaitu suku bangsaMinangkabau yang tinggal di Kota Medan,dengan kriteria sebagai berikut:1. Terlibat atau terdaftar sebagai anggota diBadan Musyawarah Masyarakat Minang(BM3).2. Aktif dalam kegiatan-kegiatan yangdilaksanakan oleh Badan MusyawarahMasyarakat Minang (BM3).3. Laki-laki dan perempuan yang berusia 17tahun ke atas, sebagai batasan usia yangdianggap sudah dewasa atau sebagaibatasan dari produktifitas seseorang.Berbagai informan tersebut, baik informankunci maupun informan biasa, dianggap mengetahuitentang masalah yang dikaji dalam penelitian ini dandapat memberikan sumber data yang dibutuhkanpeneliti. Informan kunci dalam penelitian ini adalahsebanyak 5 (lima) orang, sedangkan informan biasaberjumlah 10 (sepuluh) orang.DESKRIPSI HASIL PENELITIANKedatangan suku bangsa Minangkabaudi Kota Medan tidak terlepas dari tradisimerantau yang melekat pada budaya mereka. Jikadilihat dari awal kedatangannya, suku bangsaMinangkabau bermigrasi ke Kota Medan sekitarakhir abad ke-19, di saat Kota Medan mulaimengalami perkembangan dan kemajuan diberbagai bidang. Diawali dengan dibukanyaberbagai perkebunan-perkebunan besar, industripertanian dan lancarnya sektor transportasi.Keadaan ini menarik tumbuhnya lembagalembagaperdagangan dan berbagai kegiatan dibidang jasa.Naim (1982: 931) menjelaskan, bahwahal lain yang melatarbelakangi migrasi besarbesaransuku bangsa Minangkabau adalahterjadinya depresi ekonomi yang hebat pada akhirtahun 1929, sehingga memukul perekonomianbanyak kawasan di dunia termasuk HindiaBelanda. Lebih lanjut dijelaskan, depresi yangterus berlanjut hingga pada pertengahan tahun1930-an menyebabkan suku bangsa Minangkabaumeninggalkan wilayahnya merantau ke kota-kotabesar terutama ke Batavia, dan Sumatra,khususnya ke Jambi, Pekanbaru, Palembang, danMedan.Berbeda dengan Naim, Pelly (1994)menyatakan bahwa kedatangan suku bangsaMinangkabau ke berbagai daerah termasuk KotaMedan sangat terkait dengan nilai-nilai budayayang mereka miliki. Budaya suku bangsaMinangkabau menganggap seseorang itu belumberguna bagi kampung halamannya jika ia belummerantau. Proses merantau selain sebagai sebuahproses pendewasaan, juga dianggap sebagailangkah dalam memenuhi misi kebudayaan. Sukubangsa Minangkabau menganggap daerah rantausebagai tempat menggali ilmu, mencari harta dankekayaan yang kemudian dibawa pulang untukkepentingan kampung halamannya. Dalam halini, pendapat yang dikemukakan oleh Pelly lebihsesuai dengan penelitian ini dibandingkan denganpendapat yang dikemukakan oleh Naim.Suku bangsa Minangkabau ini berasaldari berbagai desa atau nagari yang ada di<strong>Sumatera</strong> Barat. Walaupun tadinya merekabekerja sebagai petani dan penjual hasil bumi dikampung halamannya, tetapi di perantauanmereka berkonsentrasi pada sektor perdagangan(Naim, 1984: 99). Mereka menjual barangdagangannya dari satu perkebunan ke perkebunanyang lain dan ada juga yang menetap di kotauntuk berdagang.Lebih lanjut, Naim menjelaskan bahwapada tahun-tahun awal kedatangan suku bangsaMinangkabau ke Kota Medan, besarnya migrasiyang dilakukan tidak pernah terdata secara resmi.Namun, data sensus pada tahun 1930menunjukkan angka sekitar 5.408 jiwa sukubangsa Minangkabau yang berdomisili di KotaMedan. Angka ini mengalami peningkatan daritahun ke tahun, walaupun jumlahnya tidak tetap.Hal ini juga dipengaruhi oleh situasi dan kondisisosial politik pada saat itu, baik di daerah asal,dalam hal ini di <strong>Sumatera</strong> Barat, maupun didaerah rantau yaitu di Medan. Kegiatan merantausecara praktis berhenti ketika terjadi perangrevolusi kemerdekaan di tahun 1940-an danmeningkat lagi setelah adanya pengakuankedaulatan oleh Belanda pada tahun 1950. Sejakpecahnya pemberontakan PRRI pada tahun 1956,keadaan di pedalaman <strong>Sumatera</strong> Barat menjaditidak aman, sehingga mendorong suku bangsaMinangkabau untuk merantau. Selain ke KotaPadang, mereka juga menuju ke kota-kota di100
Dewi dan Ermansyah, Badan Musyawarah Masyarakat...<strong>Sumatera</strong> Timur dan <strong>Utara</strong>. Pada saat itu KotaMedan menjadi kota tujuan bagi perantau.Kendati demikian, dari data statistik yang ada,dapat disimpulkan bahwa kenaikan jumlahperantau Minangkabau ke Kota Medan, sejalandengan kenaikan rata-rata jumlah penduduknya.Setelah kemerdekaan, okupasi perantauMinangkabau di Kota Medan masih di bidangperdagangan, namun mengalami perkembangandan semakin beragam, tidak hanya berdagangantar perkebunan lagi. Ada yang berdagang diemper-emper toko sebagai pedagang kaki lima,ada yang sudah memiliki toko sendiri dan adajuga yang sudah berhasil menjadi pengecer.Dalam penelitiannya, Naim (1984: 99)memperoleh data bahwa sekitar 80% atau lebihdari keseluruhan pedagang pengecer di pusatpasar adalah suku bangsa Minangkabau danbeberapa di antaranya telah berhasil mencapaitingkat perdagangan ekspor impor. Namunkemudian, mereka kalah bersaing dengan orangCina. Hanya usaha penjahitan yang kemudianberhasil mereka ambil alih dari orang Cina.Dalam usaha penjahitan ini, 80% di antaranyadikuasai oleh suku bangsa Minangkabau.Kemudian, usaha lain yang mereka tekuni adalahberjualan makanan. Ini terlihat dengan berdirinya“warung-warung Padang” mulai dari restoransampai pedagang nasi pinggir jalan. Okupasi lainseperti usaha percetakan dan penerbitan termasuktoko-toko alat tulis dan toko buku.Pelly (1994), menjelaskan bahwagenerasi kedua suku bangsa Minangkabau yangmemiliki pendidikan lebih memilih karier sebagaidosen, notaris publik, dokter dan wartawan.Profesi-profesi ini dipilih sesuai denganpertimbangan nilai budaya. Seperti diketahui, sukubangsa Minangkabau lebih cenderung memilihpekerjaan yang memberikan kemerdekaan pribadibagi mereka. Mereka tidak menyukai pekerjaanyang cenderung menempatkan mereka di bawahorang lain. Hal ini seperti tertuang dalam pepatah“tahimpik ndak di ateh, takuruang ndak di lua(terhimpit hendak di atas, terkurung hendak diluar)”. Kendati demikian, banyak juga yangbekerja sebagai pegawai bank dan instansipemerintahan. Pada akhirnya, pekerjaan sebagaipedagang merupakan lapangan kerja bagi yangmemiliki tingkat pendidikan yang rendah.Lebih lanjut, Pelly menjelaskan bahwapada suku bangsa Minangkabau yang merantaujuga dijumpai kecenderungan pengelompokkandi kawasan pemukiman tertentu. Lingkunganpemukiman yang mereka sukai adalah yang dekatdengan kawasan perdagangan seperti pasar-pasaratau di pusat kota. Proses penyesuaian perantauMinangkabau yang baru datang lebih mudahdibandingkan dengan migran suku bangsa yanglainnya. Biasanya mereka “menumpang” danbekerja dengan membantu usaha saudara ataukawan sekampung yang lebih dahulu merantau.Biasanya setiap pulang kampung suku bangsaMinangkabau yang merantau terlebih dahulu,akan membawa sanak familinya yang sama-samabertujuan mencari pekerjaan atau dengan tujuanlainnya. Hal ini menyebabkan suku bangsaMinangkabau hidup mengelompok, walaupunada juga suku bangsa Minangkabau yangbertempat tinggal terpisah atau jauh daripemukiman perantau Minangkabau. Kawasanperantau Minangkabau mayoritas dapat dijumpaidi sekitar jalan Halat, Pasar Merah, KotaMatsum, Sukaramai, sekitar jalan Denai, JalanBromo, Tegal Sari. Atau yang sekarang tercakupdalam kecamatan Medan Area.Ermansyah (1998) menjelaskankemunculan berbagai organisasi sosial di KotaMedan terkait dengan peristiwa runtuhnyakekuasaan Sultan Deli. Runtuhnya kekuasaanSultan Deli, menjadikan Kota Medan sebagaikota tanpa kebudayaan dominan. Hal ini menjadifaktor mendorong munculnya berbagai organisasisosial, baik yang didasarkan pada ikatan marga,daerah asal maupun kesukubangsaan. Munculnyaorganisasi-organisasi ini terlihat semakin menonjolterlebih setelah kemerdekaan. Keberadaan berbagaiorganisasi sosial tersebut dipandang sebagaiwahana untuk mengekspresikan identitasnya ditengah-tengah kemajemukan Kota Medan.Lebih lanjut, masing-masing suku bangsamengekspresikan identitasnya secara aktif dansadar lewat berbagai media dan simbol-simbolbudayanya seperti; melaksanakan berbagaiupacara yang berkaitan dengan adat,menggunakan bahasa daerah dengan sesamanyadan lain sebagainya. Mereka memiliki organisasitersendiri seperti: Ikatan Aceh Sepakat, IkatanKeluarga besar Melayu, Himpunan KeluargaBesar Mandailing atau HIKMA dan OrganisasiMasyarakat Nias atau ORANI. Bagi orang Batakperkumpulannya cenderung berdasarkan ikatanmarga seperti: Persadaan marga Harahap,Perpulungen Marga Berutu, Punguan MargaPanjaitan, dan lain-lain.Keberadaan organisasi sosial sukubangsa Minangkabau merupakan akibat dari101
- Page 7 and 8: Khairifa, Komparatif tentang Pendek
- Page 9 and 10: Khairifa, Komparatif tentang Pendek
- Page 11 and 12: Khairifa, Komparatif tentang Pendek
- Page 13 and 14: Khairifa, Komparatif tentang Pendek
- Page 16 and 17: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 18 and 19: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 20 and 21: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 22 and 23: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 24 and 25: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 26 and 27: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 28 and 29: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 30 and 31: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 32 and 33: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 34 and 35: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 36 and 37: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 38 and 39: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 40 and 41: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 42 and 43: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 44 and 45: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 46 and 47: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 48 and 49: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 50 and 51: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 52 and 53: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 56 and 57: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 58 and 59: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 60 and 61: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 62 and 63: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 64 and 65: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007
- Page 66 and 67: Jurnal Harmoni Sosial, Januari 2007