Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
agama dipasung dalam kehidupan privat. Dan sampai saat<br />
ini, saya lebih memilih itu, dari pada dimensi publik agama.<br />
Sekularisasi tersebut berpengaruh dalam diri saya<br />
dalam hidup keseharian waktu itu. Dalam sebuah pertemuan<br />
dengan teman-teman di ruang publik, saya agak segan untuk<br />
bicara mengenai agama, khususnya agama sebagai norma<br />
dan ibadah ritual. Bagi saya jelas: urusan ibadah adalah<br />
urusan individu-individu. Sebab itu, sebuah perbincangan<br />
akan membosankan dan mengesalkan bagi saya, bila isi<br />
perbicangan adalah khutbah-khutbah yang mengajari dan<br />
memerintahkan untuk ibadah.<br />
Konteks yang kedua terjadi ketika saya sedang<br />
meluangkan waktu untuk sekadar membaca di perpustakaan<br />
IAIN. Tiba-tiba saya melihat sebuah buku Cak Nur berjudul<br />
Pintu-pintu Menuju Tuhan. Saya tertegun melihatnya, lalu<br />
membolak-balik dan membaca sekilas, dan kemudian<br />
menaruhnya lagi. Maklum, waktu itu saya sudah sedikit<br />
berkenalan dengan teologi inklusif, juga seperti yang<br />
dikembangkan Cak Nur. Saya berpikir, saya tahu apa yang<br />
dimaksud dan diinginkannya dalam buku terbitan 1994 itu.<br />
Bagi saya, Pintu-pintu menuju Tuhan adalah kredo yang<br />
melambangkan teologi inklusif Cak Nur.<br />
Tapi entah mengapa, kalimat “Pintu-pintu Menuju<br />
Tuhan” itu seringkali mengiang di telinga saya. Mungkin<br />
karena nilai estetiknya. Mungkin juga karena kedalaman<br />
maknanya. Waktu itu saya langsung mengamini kalimat itu:<br />
bahwa jalan menuju Tuhan tidaklah tunggal. Juga melalui<br />
filsafat, saya menyadari, bahwa kebenaran absolut itu tidak<br />
Bagian 2: Belajar darinya: Teologi Perdamaian Cak Nur |<br />
Democracy Project<br />
121