You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Democracy Project<br />
No”. Karena pernyataannya ini, konon dia mengalami<br />
ekskomunikasi bahkan dari para mentornya sendiri. Namun,<br />
saat gagasan ini tiba pada generasi saya, kami tak menemukan<br />
dan merasakan guncangan kontroversialnya di pesantren.<br />
NU, tempat kami kaum santri diasuh dan dibesarkan secara<br />
kultural, tak lagi menjadi partai politik atau subordinat dari<br />
organisasi politik tertentu. Melalui Munas dan Muktamar<br />
NU ke-27 tahun 1984 di Situbondo, NU memutuskan<br />
kembali ke Khittah 1926 dengan mengukuhkan diri sebagai<br />
organisasi sosial keagamaan (jam`iyah diniyah ijtima`iyah)<br />
dan menyingkir dari hiruk-pikuk perpolitikan yang menguras<br />
energi. Dengan demikian, kami tumbuh dalam periode NU<br />
kembali ke Khittah 1926, bukan NU sebagai partai politik.<br />
Bagaimanapun, pernyataan Cak Nur “Islam, Yes;<br />
Partai Islam, No” ini telah melecut saya dan para santri<br />
seusia untuk membaca buku-buku fikih politik Islam. Bukubuku<br />
seperti al-Ahkam al-Sulthaniyah-nya al-Mawardi, al-<br />
Siyasah al-Syar`iyah-nya Abdul Wahhab Khallaf, hingga<br />
al-Islam wa Ushul al-Hukm-nya Ali Abdur Raziq, dibaca<br />
untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya relasi Islam<br />
dan politik. Bersama Cak Nur, Raziq kemudian Gus Dur<br />
(Abdurrahman Wahid) akhirnya saya berkesimpulan bahwa<br />
Islam memang seharusnya tak menjadi partai politik.<br />
Sebagaimana mereka, saya menangkap alarm bahaya<br />
sekiranya Islam mau ditarik ke gelanggang politik praktis.<br />
Belakangan, Sa`id al-Asymawi (pemikir Muslim dari Mesir)<br />
berkata bahwa Allah sesungguhnya menghendaki Islam<br />
hanya menjadi sebuah agama, tapi manusia lah yang<br />
186 | All You Need is Love