Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Setelah membaca karya-karyanya, melihat langsung<br />
sikapnya, dan mendengar kesaksian orang-orang tentangnya,<br />
saya mendapatkan sebuah bingkai lain tentang Nurcholis<br />
Madjid: dia seorang terpelajar. Karena, selain telah berbuat<br />
adil dalam pikiran yang nampak dalam tulisannya, dia juga<br />
telah menampilkan keadilan itu dalam perbuatannya.<br />
Yang cukup saya sayangkan, sikap Cak Nur yang<br />
arif di atas juga kurang dikembangkan para penerusnya.<br />
Beberapa “pengikutnya”, mungkin karena terlalu “bernafsu”<br />
menyegarkan pemikiran Islam, tak jarang menggunakan<br />
bahasa propaganda. Dalam beberapa diskusi, misalnya,<br />
tidak jarang mereka ikut tersulut emosi jika pendapatnya<br />
dikritik. Dalam bentuk tertulis, saya menemukan contohnya<br />
dalam Fikih Lintas Agama terbitan Yayasan Paramadina. Di<br />
halaman 5 buku itu tertulis: “… karena Syafi’ilah pemikiranpemikiran<br />
fiqih tidak berkembang selama kurang lebih dua<br />
belas abad”.<br />
Saya tidak yakin bahwa pendapat ini berasal dari Cak<br />
Nur. (Semoga sikap saya ini bukan pengkultusan yang Cak<br />
Nur sendiri kecam. Tapi, setidaknya saya masih meyakini<br />
bahwa Cak Nur sebagai pemikir Islam, bukan nabi.) Karena<br />
beliau tidak akan “kasar” menyudutkan Imam Syafi’i<br />
sedemikian. Bahkan dalam penyebutan Imam Syafi’i, Cak<br />
Nur tidak lupa menaruh gelar Imam di depannya (lihat<br />
misalnya Ensiklopedi Nurcholish Madjid entri S).<br />
Selain itu, saya duga Cak Nur tidak akan menyalahkan<br />
Imam Syafi’i seperti di atas, tapi dia akan lebih mengoreksi<br />
Bagian 2: Belajar darinya: Teologi Perdamaian Cak Nur |<br />
Democracy Project<br />
131