Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
jargon tiada tuhan kecuali Tuhan, dan semacamnya. Setiap<br />
pekan saya sediakan waktu luang untuk belanja buku-buku<br />
bekas di belakang stadion Sriwedari, Solo, dalam rangka<br />
berburu buku-buku Cak Nur dan intelektual-intelektual<br />
Muslim lainnya. Saya mulai mengakrabi pemikiran teologi<br />
rasionalnya Harun Nasution, reaktualisasi ajaran Islamnya<br />
Munawir Syadzali, teologi transformatifnya Muslim<br />
Abdurrahman, dan lain-lain.<br />
Jujur saya akui, tidak seluruh pemikiran yang dipaparkan<br />
Cak Nur dan lokomotif pembaharu Islam lainnya dapat saya<br />
cerna. Maklum, otak saya saat itu terlalu sederhana untuk<br />
memahami bahasa-bahasa canggih yang dipakai kaum<br />
pembaharu. Beruntunglah, saya sekolah di proyek unggulan<br />
madrasah aliyah yang digagas Munawir Syadzali. Teman<br />
sekelas saya seluruhnya adalah siswa terbaik dari madrasahmadrasah<br />
tsanawiyah seluruh Jawa Tengah.<br />
MAN-PK adalah miniatur Islam Indonesia. Banyak<br />
teman saya yang seide dengan Daud Rasyid, Abu Rido dan<br />
para penentang Cak Nur lainnya. Tapi tak sedikit di antara<br />
mereka yang setuju dengan Cak Nur yang melihat keharusan<br />
adanya penyegaran pemikiran keagamaan di kalangan<br />
umat Islam. Menariknya, pandangan para ustad kami juga<br />
terbelah menjadi dua. Ada Ustad Charis Muannis yang<br />
alumni Gontor dan aktif menjadi juru bicara pemikiran Cak<br />
Nur di kelas maupun di asrama kami. Tapi ada juga Ustad<br />
Aqib yang alumnus Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan<br />
Arab (LIPIA), Jakarta, yang merupakan cabang Universitas<br />
Muhammad Ibnu Suud, Riyadh, yang aktif “menyesatkan”<br />
Bagian 2: Belajar darinya: Teologi Perdamaian Cak Nur |<br />
Democracy Project<br />
85