Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Saya mungkin termasuk orang yang telat membaca<br />
Cak Nur. Kali pertama saya membacanya adalah ketika saya<br />
duduk di semester-semester awal perkuliahan di Semarang.<br />
Di Suara Merdeka, sebuah koran lokal Jawa Tengah, kala itu<br />
terdapat kolom khusus ulasan Cak Nur tiap Sabtu. Sebuah<br />
telaah yang begitu komprehensif atas persoalan kontemporer<br />
khas perspektif seorang Guru Bangsa. Bagi saya yang masih<br />
awam waktu itu, telaah itu begitu mencerahkan!<br />
Terpikat dengan alur logika tutur Cak Nur dalam<br />
menjelaskan, mengurai, menganalisis, dan memberikan<br />
alternatif solusi yang begitu sistematis, runtut, dan<br />
memahamkan, saya mulai mencari dan membaca karyakarya<br />
Cak Nur lainnya, mulai dari Islam, Doktrin, dan<br />
Peradaban (1992), Islam Kemodernan, dan Keindonesiaan<br />
(1988), Pintu-Pintu Menuju Tuhan (1994), dan lainnya. Selain<br />
itu juga buku-buku dan karya yang membahas mengenai<br />
pemikiran dan sepak terjang Cak Nur.<br />
Waktu itu saya dianggap berperilaku aneh, karena<br />
saya berlatar Nahdlatul Ulama (NU) dan saat itu menjadi<br />
anggota Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)<br />
Komisariat al-Ghazali, Semarang. Lazimnya, dalam soal<br />
kajian pemikiran kontemporer, anggota PMII, yang masih<br />
memiliki ikatan dengan NU secara kultural, rata-rata akan<br />
lebih dekat kepada Gus Dur (Abdurrahman Wahid) daripada<br />
Cak Nur, sekalipun Gus Dur dianggap sebagai intelektual<br />
yang “sealiran” dengan Cak Nur. Apalagi, Cak Nur berasal<br />
dari Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI), yang dulu<br />
berafiliasi ke Masyumi.<br />
Bagian 2: Belajar darinya: Teologi Perdamaian Cak Nur |<br />
Democracy Project<br />
143