Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Tapi, bagi saya, hal itu justru makin menunjukkan<br />
bahwa dia intelektual Muslim sejati. Dia tak menjawab<br />
pelbagai kritik yang dialamatkan kepadanya karena rata-rata<br />
kritik itu bernada negatif: bukan kritik membangun, namun<br />
merusak. Dengan kata lain, yang dilakukan bukanlah<br />
mengkritik (to criticize), tapi menghina (to insult). Cobalah<br />
tengok tulisan yang mengupas ide Cak Nur dalam buku<br />
Hartono Ahmad Jaiz, Sabili, Hidayatullah, dan media yang<br />
senada lainnya.<br />
Tidak ada itikad baik dari para pengkritik itu untuk<br />
berdiskusi dengan sehat. Bagaimana bisa muncul tukar<br />
pikiran yang sehat jika belum apa-apa lawannya sudah dicap<br />
sesat atau kafir? Dalam diskusi seperti ini, setiap orang ingin<br />
mengungguli pendapat lawannya. Padahal, untuk ini, al-<br />
Ghazali dalam Ihya Ulum al-Din pernah menyatakan: diskusi<br />
yang bertujuan untuk saling menjatuhkan, menunjukkan<br />
kelebihan pribadi, dan meraih kemuliaan adalah sumber<br />
segala etika yang buruk. Karena, lanjut al-Ghazali, diskusi<br />
semacam itu akan melahirkan riya’, sombong, dan hasutan.<br />
Oleh karena itu, tindakan Cak Nur untuk tidak melayani<br />
kritik-kritik berbau negatif di atas sudah tepat. Sikap itu<br />
mengingatkan saya akan pepatah Arab ini: “Tarku al-jawab<br />
`ala al-jâhili jawabuhu” (tidak menjawab pertanyaan orang<br />
“bebal” adalah jawabannya).<br />
Pada titik ini ada baiknya kita merenungkan Syauqi<br />
Bek. Dalam satu sajaknya, penyair Arab terkenal itu berkata:<br />
“Kelestarian bangsa bergantung atas etika yang baik. Jika<br />
tidak, kehancuranlah baginya”.<br />
Bagian 2: Belajar darinya: Teologi Perdamaian Cak Nur |<br />
Democracy Project<br />
129