26.09.2015 Views

TEMPO EDISI KHUSUS SOEHARTO

Tempo Edisi Khusus Soeharto - Biar sejarah yang bicara

Tempo Edisi Khusus Soeharto - Biar sejarah yang bicara

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Tempo Edisi Khusus Soeharto<br />

138<br />

Tepisan itu dilakukan amat nyaring ketika Presiden Soeharto berpidato di Pekanbaru<br />

pada Maret 1980. Jenderal Widodo diganti dan para jenderal purnawirawan yang<br />

memprotes pidato di Pekanbaru dengan menandatangani Petisi 50 pun dicekal, termasuk<br />

Jenderal Nasution. Para pendukung Jenderal Soeharto, yang oleh pakar wartawan Australia<br />

David Jenkins disebut kelompok pragmatis, kemudian membuat konsep tandingan yang<br />

dikenal sebagai "Makalah Hankam".<br />

Sejarah mencatat, konsep kelompok pragmatis ini yang kemudian dijalankan<br />

Presiden Soeharto. Bagi kalangan yang sinis, pelaksanaan konsep ini di lapangan sebenarnya<br />

amat mirip dengan konsep pendudukan militer. Tentara menjadi alat pemerintahan<br />

Soeharto. Mitra sipil peran politik TNI adalah Golkar, yang oleh salah seorang tokohnya,<br />

Rahman Tolleng, disebut bukan partai yang berkuasa (ruling party) tapi partainya penguasa<br />

(ruler's party). Dengan dukungan kuat TNI melalui jaringan teritorial, temasuk kekaryaan,<br />

Golkar pun terus-menerus menang dalam pemilihan umum yang berlangsung setiap lima<br />

tahun.<br />

Jenderal Soeharto semakin ringan tangan dalam memanfaatkan militer untuk<br />

menjalankan tugas nonmiliter. Operasi pembersihan para preman yang dianggap<br />

mengganggu ketenteraman diberikan kepada tentara. Ribuan preman bertato pun tewas<br />

ditembak secara misterius.<br />

Kesibukan aparat militer di berbagai bidang nonmiliter ini pada akhirnya bermuara<br />

pada menurunnya kemampuan profesional militer TNI. Kecenderungan ini semakin buruk<br />

setelah pengaruh keluarga dan kroni Cendana mulai merasuk ke sistem promosi di jajaran<br />

militer. Jenderal L.B. Moerdani, seorang pendukung setia dari kelompok pragmatis yang<br />

mencoba mengingatkan Jenderal Soeharto tentang bahaya pengaruh nepotisme, malah<br />

terpental dari posisinya sebagai Panglima ABRI.<br />

Militer pun seolah menjadi lembaga kebal hukum dan ringan tangan dalam<br />

menggunakan kekerasan. Peningkatan keterlibatan aparat militer dalam berbagai kegiatan<br />

bisnis dan politik menyebabkan maraknya antipati masyarakat terhadap tentara. Perangkat<br />

perang TNI memang makin modern dan canggih tapi pertautan hati dengan rakyat justru<br />

merenggang.<br />

Kerenggangan ini amat dirasakan oleh para perwira muda, terutama yang terlibat<br />

dalam berbagai operasi militer di Timor Timur, Aceh, dan Papua. Posisi mereka seolah<br />

terbalik dengan generasi 45. Para senior pendiri TNI melakukan perang gerilya bersama<br />

rakyat melawan musuh dari luar yang lebih profesional secara militer. Para perwira muda<br />

penerus justru memiliki perangkat militer yang lengkap dan dilatih secara profesional dan<br />

harus berhadapan dengan pemberontakan bersenjata yang setidaknya didukung oleh<br />

sebagian rakyat setempat. Di lapangan mereka mulai paham bahwa pemberontakanpemberontakan<br />

itu terjadi karena penyelesaian politik tak berjalan, bukan karena kegiatan<br />

musuh dari luar. Politik tak jalan karena dominasi militer terlalu kuat.<br />

http://Semaraks.blogspot.com

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!