26.09.2015 Views

TEMPO EDISI KHUSUS SOEHARTO

Tempo Edisi Khusus Soeharto - Biar sejarah yang bicara

Tempo Edisi Khusus Soeharto - Biar sejarah yang bicara

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Tempo Edisi Khusus Soeharto<br />

1<br />

Setelah Dia Pergi<br />

DENGAN tujuh hari berkabung nasional, perintah pengibaran bendera setengah<br />

tiang-lain soal Anda patuh atau keberatan-Soeharto yang berpulang Ahad dua<br />

pekan lalu sudah menjadi "pahlawan". Suka atau tidak, sejak ia masuk Rumah Sakit<br />

Pertamina hingga wafat, tiga pekan kemudian, ia masih seorang master dengan kuasa<br />

penuh.<br />

Pejabat tinggi keluar-masuk membesuknya. Turun-naik fungsi jantungnya menelan<br />

berita kematian pedagang "gorengan" Slamet, yang putus asa lalu bunuh diri akibat harga<br />

kedelai ekstra tinggi. Semua stasiun televisi-beberapa memang milik anak-anaknyamengarahkan<br />

moncong kamera ke rumah sakit, seraya mengulang-ulang sejarah<br />

perjalanannya ketika mengemudikan negeri. Tentu saja, untuk menghormati dia yang sakit<br />

keras, sengaja dipilih berita-berita bagus saja.<br />

Di rumah sakit, keluarga menetapkan "protokoler" ketat: hanya mereka yang<br />

mendapat perkenan boleh menghampiri. Tidak semua bekas anggota lingkaran dekat lolos<br />

seleksi. Harmoko, yang selama menjadi menteri tidak pernah lupa minta petunjuk sang bos,<br />

entah kenapa tak masuk hitungan. Juga Habibie, bekas presiden yang pernah menyebut<br />

Soeharto sebagai profesornya itu. Di tengah paduan suara politikus merapal permintaan<br />

maaf untuknya, rupanya belum tersedia maaf untuk dua bekas setiawan itu.<br />

Ketika ia akhirnya wafat, penyiar televisi dengan mata sembap semakin bersemangat<br />

menyiarkan kebaikan dan kisah sukses. Jam tayang ditambah, rating meningkat<br />

mengalahkan sinetron mana pun-artinya iklan pasti datang berduyun-duyun. Usaha<br />

"menggoreng" perasaan rakyat lewat TV harus dikatakan berhasil.<br />

Tiba-tiba di layar kaca orang menyaksikan sosok yang hanya boleh diberi simpati dan<br />

dikirimi doa. Mereka yang bicara lain, apalagi menyinggung dosa dan salahnya, seakan<br />

keliru, jahil, nyinyir, atau menyimpan dendam. Mungkin Asep Purnama Bahtiar benar.<br />

Dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta itu merasa yang diberitakan media massa<br />

bukan lagi sebagaimana adanya, melainkan hasil konstruksi tentang sebuah "dunia" yang<br />

diciptakan media massa dan pihak-pihak yang terlibat.<br />

Sebentar lagi, setelah Astana Giribangun, makam keluarga yang megah itu, tidak lagi<br />

menjadi berita, yang tersisa adalah kasus perdata yayasan Soeharto, dan debat tentang<br />

status hukum ahli waris. Pemerintah jangan sampai habis waktu mengurus soal ahli waris<br />

ini. Semua aturan sudah jelas. Bila anak-anak almarhum tidak meminta penetapan menolak<br />

waris ke pengadilan, artinya hak waris jatuh ke tangan enam anaknya. Setelah apa yang<br />

diberikan Soeharto, mestinya tidak masuk akal bila ada di antara anak-anaknya yang berpikir<br />

untuk menolak waris itu. Selanjutnya, kejaksaan bisa berurusan dengan anak-anaknya dalam<br />

perkara perdata.<br />

http://Semaraks.blogspot.com

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!