26.09.2015 Views

TEMPO EDISI KHUSUS SOEHARTO

Tempo Edisi Khusus Soeharto - Biar sejarah yang bicara

Tempo Edisi Khusus Soeharto - Biar sejarah yang bicara

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Tempo Edisi Khusus Soeharto<br />

90<br />

Di mobil, mereka semua bungkam. Kaca tertutup rapat. Lagu house music diputar<br />

berdebam-debam. Lalu kendaraan itu melesat kencang, dan berhenti sejam kemudian. Tak<br />

jelas di daerah mana. Terdengar suara handy talkie mencicit, "Merpati, merpati." Agaknya<br />

itu semacam kode mereka. Rupanya, mereka meminta pintu pagar dibuka.<br />

Mata kami masih tertutup rapat saat digiring masuk ke ruangan itu. Pendingin udara<br />

terasa menusuk tulang. Terdengar suara-suara orang, mungkin lebih dari 10 orang. Saya<br />

didudukkan di kursi. Lalu, mendadak satu pukulan melesak di perut. Setelah itu, menyusul<br />

bertubi-tubi tendangan. Satu terjangan keras mendarat di badan, sampai kursi lipat itu<br />

patah. Bibir terasa hangat dan asin. Darah mengucur.<br />

Setelah itu, saya dibaringkan ke velbed. Tangan kiri diborgol dan kaki diikat kabel.<br />

Mereka bertanya di mana Andi Arief, Ketua Umum SMID. Karena tak puas dengan jawaban,<br />

alat setrum mulai beraksi. Dengan garang, listrik pun merontokkan tulang dan sendi. "Kalian<br />

bikin rapat dengan Megawati dan Amien Rais, kan? Mau menggulingkan Soeharto kan?"<br />

tanya suara itu dengan garang.<br />

Absurd. Saat itu, kami mendukung Mega-Amien melawan kediktatoran. Tapi belum<br />

pernah ada rapat bersama dua tokoh itu. Saya tak banyak menjawab. Mereka mengamuk.<br />

Satu mesin setrum diseret mendekati saya. Lalu, kepala saya dijungkirkan. Listrik pun<br />

menyengat dari paha sampai dada.<br />

"Allahu akbar!" saya berteriak. Tapi mulut saya diinjak. Darah mengucur lagi. Satu<br />

setruman di dada membuat napas saya putus. Tersengal-sengal. Saya sudah setengah tak<br />

sadar, tapi masih bisa mendengar suara teguran dari seorang kepada para penyiksa itu, agar<br />

jangan menyetrum wilayah dada. Saya merasa sangat lelah. Lalu terlelap.<br />

l l l<br />

ENTAH pukul berapa, tiba-tiba saya mendengar suara alarm memekakkan telinga.<br />

Saya tersentak. Terdengar suara Aan meraung-raung. Ini mungkin kuil penyiksaan sejati,<br />

tempat ritus kekerasan berlaku tiap menit. Alarm dibunyikan tiap kali, bersama tongkat<br />

listrik yang suara setrumannya seperti lecutan cambuk. Saya juga mendengar jeritan<br />

Mugiyanto. Rupanya, dia "dijemput" sejam setelah kami ditangkap. Hati saya berdebar<br />

mendengar dia dihajar bertubi-tubi. Sekali lagi, mereka ingin tahu apa betul kami terlibat<br />

konspirasi rencana penggulingan Soeharto.<br />

Selama dua hari tiga malam, kami disekap di tempat itu. Penyiksaan berlangsung<br />

dengan sangat metodis. Dari suara alarm yang mengganggu, pukulan, dan teror mental.<br />

Pernah, setelah beberapa jam tenang, mendadak kami dikejutkan tongkat listrik. Mungkin<br />

itu tengah malam atau pagi hari. Tak jelas, karena mata tertutup, dan orientasi waktu hilang.<br />

Selintas saya berpikir bahwa penculik ini dari satuan profesional. Mereka bilang, pernah<br />

bertugas di Aceh dan Papua segala.<br />

http://Semaraks.blogspot.com

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!