26.09.2015 Views

TEMPO EDISI KHUSUS SOEHARTO

Tempo Edisi Khusus Soeharto - Biar sejarah yang bicara

Tempo Edisi Khusus Soeharto - Biar sejarah yang bicara

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Tempo Edisi Khusus Soeharto<br />

52<br />

murung. Husni memburunya. "Maaf, Pak, lain waktu saya akan survei lebih baik lagi,"<br />

katanya memohon. "Ndak apa-apa, sudah baik, kok," Soeharto menghibur. Soeharto<br />

memerintahkan rombongan melanjutkan memancing.<br />

Esok harinya semua anggota rombongan dipanggil menghadap ke rumah Soeharto di<br />

Cendana, sambil membawa hasil pancingan mereka. Mereka bertanya-tanya dan agak<br />

gemetar. "Kami sudah siap dengan keadaan yang terburuk," kata Husni. Ternyata Soeharto<br />

bukannya mau memarahi, melainkan dia lupa memberi uang tips kepada rombongan<br />

kemarin. Hari itu mereka mendapat tips. Namun, ikan hasil tangkapan mereka diminta<br />

Soeharto untuk diserahkan kepada Ibu Negara. "Kami semua lega," kata pria kelahiran Pasar<br />

Minggu, Jakarta ini.<br />

Hanya dua hari setelah hari memancing yang nahas itu atau sehari usai mereka<br />

menghadap ke Cendana, Ibu Negara Tien Soeharto meninggal.<br />

Toeti Kakiailatu<br />

Wartawan Istana<br />

Lima Oktober 1965. Saat itu, Toeti Kakiailatu ingat. Dia masih bekerja sebagai<br />

wartawan Sankei Shimbun, sebuah harian Jepang. Orang berduyun-duyun menuju Taman<br />

Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Hari itu adalah hari ulang tahun ABRI yang ke-<br />

20, bertepatan dengan dimakamkannya lima pahlawan revolusi.<br />

Toeti melihat beberapa perwira tinggi hadir, di antaranya Jenderal Nasution, yang<br />

sudah bertongkat. Tak jauh dari Nasution, ada pria berbaju loreng berkacamata hitam. Di<br />

ketiaknya terapit tongkat komando. "Itu Pak Harto dari Kostrad," bisik seorang istri tentara<br />

kepada Toeti. "Gambaran lelaki itulah yang membayangi pemikiran saya terhadap<br />

Soeharto," kata Toeti.<br />

Tahun berikutnya, Juni 1966, Soeharto diangkat menjadi pejabat presiden dalam<br />

Sidang Umum IV MPRS. Soeharto berkantor di Jalan Medan Merdeka Barat 15, Jakarta<br />

Pusat. Akibatnya, wartawan Istana selalu wira-wiri antara Istana Merdeka dan Medan<br />

Merdeka Barat 15. Kemudian, muncul kebijakan melarang wartawan me-ngunjungi<br />

Soekarno di Istana Merdeka.<br />

Setiap hari, Soeharto ke kantor mengendarai jip. Dia tetap berbaju loreng dan<br />

berkacamata hitam. Suatu hari pada April 1967, dia mengajak wartawan piknik ke<br />

Kepulauan Seribu. Di sinilah dia pertama kali menanggalkan seragam tempurnya itu,<br />

berganti setelan safari dan peci.<br />

Di tempat piknik, para wartawan bersantap siang bersama Soeharto. Menu<br />

utamanya: ikan bakar dan sambal yang diulek oleh Tien Soeharto. Kendati berakrab-akrab,<br />

Soeharto menolak diwawancarai, apalagi menyangkut masalah politik.<br />

http://Semaraks.blogspot.com

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!