10.01.2015 Views

Vol. IV No. 1 April 2008 - USUpress - Universitas Sumatera Utara

Vol. IV No. 1 April 2008 - USUpress - Universitas Sumatera Utara

Vol. IV No. 1 April 2008 - USUpress - Universitas Sumatera Utara

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

❏ Jeladu Kosmas<br />

Halaman 31<br />

Frasa Preposisional dan Struktur Adjung<br />

dalam Bahasa Rongga<br />

FRASA PREPOSISIONAL DAN STRUKTUR ADJUNG<br />

DALAM BAHASA RONGGA<br />

Jeladu Kosmas<br />

<strong>Universitas</strong> Nusa Cendana, Kupang<br />

Abstract<br />

Preposition as a core element of prepositional phrse of Rongga language has its own<br />

particular uniqueness. Other than influenced by topographical situation, it is also<br />

influenced by four winds direction. Based upon the points, therefore, there appear<br />

prepositional phrase zheta, zhili, mena, zhale, lau, and zhele. By having such such<br />

prepositions there appaers prepositional phrase zheta Ruteng, zhili alo wae, mena wolo<br />

Moma, zhale Borong, lau waembata, dan zhele Waerana, et cetera.<br />

In a canonical structure, the Rongga’s adunct always appears at final position of a<br />

sentence. in a c structure, adjunct together with the verb is commly under one node that is<br />

VP; an adjuct appears after a verb as ahead of a clause. An adjunct may not come befoe a<br />

verb or appears after a verb.<br />

Key words: preposition, prepositional phrase, adjunct structure, constituent structure<br />

1. PENDAHULUAN<br />

1.1 Latar Belakang<br />

Bahasa Rongga merupakan bahasa<br />

minoritas (sekitar 7.000 penutur) yang wilayah<br />

pemakaiannya meliputi satu kelurahan dan tiga<br />

desa di kecamatan Kota Komba, Kabupaten<br />

Manggarai Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur<br />

(NTT), yakni kelularahan Tanah Rata, Desa Watu<br />

Nggene, Desa Komba, dan Desa Bamo. Selain<br />

dipakai sebagai sarana berkomunikasi<br />

antarpenuturnya, bahasa Rongga juga dipakai<br />

dalam tuturan ritual, seperti dalam upacara-budaya<br />

Dhasa Jawa (upacara pembukaan makan jagung<br />

muda), Langga Inga (jagung muda dibolehkan<br />

masuk ke dalam rumah untuk dimasak, termasuk<br />

untuk disimpan), Oli Pare (pengetaman padi resmi<br />

dimulai/dilaksanakan); Pare Wole (syukuran atas<br />

hasil panenan yang sudah diketam); Hongga Ulu<br />

(cukur rambut); Nggua (pesta kenduri), dan juga<br />

dipakai sebagai bahasa pengantar dalam kegiatan<br />

pembelajaran pada kelas rendah (kelas I, II, dan<br />

III) pada jenjang pendidikan dasar di wilayah<br />

pemakaian bahasa Rongga, di samping bahasa<br />

Indonesia sebagai bahasa pengantar utama dalam<br />

kegiatan belajar-mengajar.<br />

Secara sosiolinguistis, sebagai bahasa<br />

yang hidup berdampingan dengan bahasa-bahasa<br />

lain di sekitarnya, bahasa Rongga tidak jarang<br />

terjadi kontak bahasa, baik dengan bahasa-bahasa<br />

daerah, maupun dengan bahasa nasional (bahasa<br />

Indonesia). Kontak bahasa ini bisa berdampak<br />

positif, bisa juga berdampak negatif. Dampak<br />

positifnya yang paling nyata adalah adanya<br />

penambahan perbendaharaan kata. Tidak sedikit<br />

kosa kata bahasa Manggarai sebagai bahasa<br />

terbesar di Pulau Flores yang wilayah<br />

pemakaiannya berbatasan langsung dengan<br />

wilayah pemakaian bahasa Rongga, terserap ke<br />

dalam bahasa Rongga. Demikian juga dengan kosa<br />

kata bahasa Ngadha yang juga berbatasan langsung<br />

dengan bahasa Rongga, terserap ke dalam bahasa<br />

Rongga. Sementara sisi dampak negatifnya adalah<br />

bisa menimbulkan interferensi bahasa. Bahkan ada<br />

kecenderungan bahasa Rongga ini mengalami<br />

gejala kepunahan karena perilaku sebagian<br />

penuturnya yang cenderung menggunakan bahasa<br />

daerah di sekitarnya dalam berkomunikasi, yakni<br />

bahasa Manggarai.<br />

Secara morfologis, bahasa Rongga<br />

tergolong bahasa isolasi. Bahasa ini tidak memiliki<br />

pemarkahan morfologis, terutama afiksasi. Karena<br />

tidak memilik afiks, maka tidak pernah dijumpai<br />

bentuk derivasi sebagai hasil proses morfoleksikal<br />

dalam bahasa ini. Apabila pertimbangan<br />

morfologis selalu dipakai sebagai dasar penentuan<br />

aspek gramatikal, seperti diatesis dan sejenisnya,<br />

maka bisa dipastikan bahasa Rongga tidak<br />

memiliki diatesis aktif dan pasif. Akan tetapi, bila<br />

ditelusuri dari tataran lain, dalam hal ini tataran<br />

sintaksis, konstruksi aktif dan pasif pada bahasa ini<br />

didukung oleh data yang memadai.<br />

Dalam hal tata urut konstituen<br />

(constituent order), bahasa Rongga tidak terikat<br />

posisi. Tidak terdapat kendala gramatikal dalam<br />

hal tata urut konstituen. Setiap konstituen klausa<br />

atau kalimat berpeluang untuk bisa muncul pada<br />

LOGAT<br />

JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>IV</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2008</strong>

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!