Vol. IV No. 1 April 2008 - USUpress - Universitas Sumatera Utara
Vol. IV No. 1 April 2008 - USUpress - Universitas Sumatera Utara
Vol. IV No. 1 April 2008 - USUpress - Universitas Sumatera Utara
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
Halaman 2<br />
❏ Eddy Setia<br />
Ekspansi setara dengan hubungan klausa dengan<br />
konjungsi. Di sini dapat dilihat bahwa kedua tipe<br />
hubungan berkaitan, sebaliknya untuk tipe proses<br />
berbeda: proyeksi berkaitan dengan klausa verbal<br />
dan mental, dan ekspansi berkaitan dengan klausa<br />
relasional. Proyeksi dan ekspansi juga ditunjukkan<br />
sebagai hubungan makna logis yang<br />
menghubungkan klausa-klausa bersama untuk<br />
membentuk klausa kompleks. Di sini juga dapat<br />
dilihat pola turunan (agnation) yang<br />
mempertahankan antara tipe sirkumstan dalam<br />
klausa dan hubungan makna logis dalam klausa<br />
kompleks.<br />
Untuk dapat memahami berbagai unsur<br />
pengalaman yang disampaikan dalam klausa<br />
dengan jelas diperlukan hubungan antarbagian<br />
pengalaman itu. Tanpa hubungan pengalaman<br />
yang satu dengan pengalaman-pengalaman<br />
lainnya, seseorang sulit mengartikan dan<br />
memahaminya. Di situlah fungsi bahasa, yakni<br />
menghubungkan satu satuan pengalaman dengan<br />
pengalaman lainnya. Hubungan satuan<br />
pengalaman itu paling sedikit melibatkan dua<br />
klausa yang dinamakan hubungan logis. Ada dua<br />
hal yang direpresentasikan dalam hubungan logis<br />
ini, yaitu (i) posisi antarklausa, dan (ii) makna<br />
yang wujud antarklausa.<br />
Posisi antarklausa mengacu kepada status<br />
atau kedudukan sebuah klausa dengan yang<br />
lainnya yang secara teknis disebut taksis. Taksis<br />
menunjukkan kesalingtergantungan sebuah klausa<br />
yang muncul di awal dan klausa kedua yang<br />
mengikutinya dan di antara klausa kedua dengan<br />
klausa ketiga dan klausa seterusnya. Secara<br />
semantik, akibat penggabungan klausa yang satu<br />
dengan klausa lainnya ke dalam sebuah klausa<br />
kompleks, satu klausa lebih kuat dalam makna<br />
dibandingkan dengan yang lainnya. Rangkaian<br />
yang direalisasikan secara gramatis (grammatic)<br />
dalam sebuah klausa kompleks diuraikan menjadi<br />
subrangkaian yang membangun sebuah episode<br />
lengkap.<br />
3. KESALINGTERGANTUNGAN<br />
KLAUSA<br />
Semua klausa yang dihubungkan dengan sebuah<br />
hubungan makna logis menunjukkan<br />
kesalingketergantungan, yakni makna struktur<br />
relasional – satuan kesalingketergantungan pada<br />
satuan lain. Dua klausa dihubungkan sebagai<br />
kesaling-tergantungan dalam sebuah lingkungan<br />
bisa dinyatakan dalam status yang sama, seperti<br />
dalam contoh berikut ini.<br />
(1) /// Terdakwa secara sah dan meyakinkan<br />
dinyatakan bersalah//<br />
//dan dipidana 15 tahun penjara./// (ip)<br />
Klausa Kompleks dan Variannya<br />
Seperti yang disebutkan di atas,<br />
kesalingtergantungan klausa secara teknis disebut<br />
taksis; kesalingtergantungan yang memiliki status<br />
sama disebut parataksis dan yang tidak sama<br />
disebut hipotaksis. Hipotaksis adalah hubungan<br />
antara unsur yang berdiri sendiri dan dominasinya.<br />
Sebaliknya, parataksis merujuk pada hubungan<br />
antara dua unsur yang statusnya sama, yang satu<br />
berinisiatif dan yang satu lagi melanjutkan inisiatif<br />
tadi.<br />
3.1 Parataksis<br />
Pilihan antara parataksis dan hipotaksis<br />
mencirikan tiap hubungan antara dua klausa (tiap<br />
neksus) – hubungan kata-kata dalam kalimat –<br />
dalam sebuah klausa kompleks; dan klausa<br />
kompleks sering dibentuk dengan gabungan antara<br />
parataksis dan hipotaksis. Klausa-klausa yang<br />
membentuk sebuah neksus adalah primer dan<br />
sekunder. Klausa yang primer merupakan klausa<br />
awal dalam sebuah neksus parataksis, dan klausa<br />
yang dominan dalam sebuah hipotaksis; klausa<br />
sekunder adalah klausa yang melanjutkan dalam<br />
sebuah hipotaksis. Penjelasan tersebut tergambar<br />
pada Tabel 1 berikut ini.<br />
Tabel 1. Klausa-klausa primer dan sekunder dalam<br />
klausa neksus<br />
primer sekunder<br />
parataksis 1 mulai 2 melanjutkan<br />
hipotaksis α dominan β terikat<br />
Klausa yang menginisiasikan disebut<br />
dengan klausa sederhana dan klausa yang<br />
melanjutkan disebut dengan sub-kompleks –<br />
neksus hipotaksis. Parataksis dan hipotaksis<br />
merupakan dua bentuk dasar yang dibawa oleh<br />
hubungan logis dalam bahasa alami dan<br />
menunjukkan hubungan taksis di antara unit-unit<br />
gramatikal lainnya.<br />
Tabel 2. Klausa kompleks dengan penyematan<br />
endosentris<br />
1 Berdasarkan uraian yang telah kami kemukakan<br />
di atas,<br />
2 α maka kami selaku Jaksa Penuntut Umum<br />
menolak seluruh <strong>No</strong>ta Pembelaan (PLEDOI)<br />
Saudara Penasehat Hukum atas nama terdakwa<br />
Mr.X.<br />
β dan kami tetap pada Surat Tuntutan yang telah<br />
dibacakan pada tanggal 12 Mei 2005. (ip)<br />
Konsep penyematan endosentris merupakan<br />
ciri umum struktur logis. Cara penyematan ini<br />
direpresentasikan secara eksplisit, seperti<br />
pemberian tanda kurung internal – misalnya untuk<br />
elaborasi parataksis: 1 =2 (1 +2). Unsur (1+2)<br />
disematkan pada hubungan makna logis elaborasi<br />
parataksis [1 =2].<br />
LOGAT<br />
JURNAL ILMIAH BAHASA DAN SASTRA <strong>Vol</strong>ume <strong>IV</strong> <strong>No</strong>. 1 <strong>April</strong> Tahun <strong>2008</strong>