BUKU_RPI_1
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Lanskap hutan dikonsepsikan sebagai bentang alam dengan dominasi hutan sebagai<br />
tutupannya, yang memiliki karakteristik unik sebagai pengatur tata air dan penjaga<br />
keseimbangan ekologis, ekonomi dan sosial budaya hubungan wilayah hulu dengan hilir.<br />
Pertimbangan digunakannya DAS sebagai basis pengelolaan lanskap hutan mengacu pada<br />
Lal and Russel (1979) yang menyatakan daerah-daerah dengan curah hujan yang tinggi<br />
umumnya berdekatan dengan wilayah hutan.<br />
Agar dapat dikelola sesuai dengan tujuan yang dikehendaki, lanskap hutan perlu<br />
dibatasi wilayahnya. Pembatasan sesuai dengan wilayah DAS mencerminkan karakteristik<br />
hutan yang keberadaannya di daerah hulu memberikan pengaruh nyata terhadap daerah<br />
hilir. Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu kawasan yang dibatasi oleh topografi<br />
sehingga hujan yang jatuh dalam DAS tersebut akan ditampung, disimpan dan dialirkan<br />
ke sungai utama yang bermuara ke danau atau lautan. Pemisah topografi biasanya berupa<br />
punggung bukit, sedangkan di bawah pemisah tanah tersebut berupa batuan kedap (Manan<br />
1979 dalam Puspaningsih, 1997).DAS atau suatu wilayah sungai umumnya meliputi<br />
beberapa kabupaten dan kota yang dilewati oleh sungai tersebut, memiliki fungsi sebagai<br />
salah satu kawasan sungai yang di dalamnya terdapat berbagai kegiatan dan harus dikelola<br />
secara terintegrasi dengan lingkungan (Purnomohadi, 2001 dalam Hutapea, 2005).<br />
DAS merupakan suatu sistem ekologi yang tersusun atas komponen- komponen<br />
biofisik dan sosial (human systems) yang hendaknya dipandang sebagai satu kesatuan yang<br />
tak terpisahkan satu sama lain. Namun secara administratif pemerintahan, wilayah DAS<br />
habis terbagi dalam satuan wilayah administrasi pembangunan kabupaten dan kota yang<br />
sangat terkotak-kotak. Kondisi ini menyebabkan penanganan DAS menjadi tersekat- sekat<br />
dan sangat tidak efisien. Terlebih setelah UU No.22 Tahun 1999 dan No.25 Tahun 1999<br />
mengenai Otonomi Daerah diberlakukan, jarak kepentingan antara satu daerah dengan<br />
lain daerah administrasi semakin terasa sementara tekanan terhadap sumberdaya DAS<br />
yang terdapat di wilayahnya semakin kuat (Prasetyo, 2004).<br />
Asdak (2002) dalam Febriani (2008) menyatakan bahwa secara umum DAS dibagi<br />
menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. DAS bagian hulu merupakan daerah konservasi<br />
dengan kerapatan drainase tinggi, kemiringan yang tinggi (>15%) dan jenis vegetasi berupa<br />
tegakan hutan. Bagian hilir DAS dicirikan sebagai daerah pemanfaatan, kerapatan drainase<br />
kecil, kemiringan lereng kecil (