05.05.2015 Views

Wajah Baru Agrarische Wet.pdf - Elsam

Wajah Baru Agrarische Wet.pdf - Elsam

Wajah Baru Agrarische Wet.pdf - Elsam

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Di Provinsi Sumatera Barat, hasil penelitian menunjukkan<br />

bahwa perlawanan komunitas nagari yang banyak terjadi semenjak<br />

pertengahan 1998 dan berlanjut sampai hari ini disebabkan oleh<br />

faktor-faktor yang berada di luar dari nagari yang bersangkutan.<br />

Konflik antara berbagai kelompok dalam komunitas nagari-nagari<br />

dengan berbagai perusahaan perkebunan kelapa sawit berskala<br />

besar merupakan implikasi sosial dari cara pemerintah menjalankan<br />

pembangunan ekonomi yang berorientasi pertumbuhan dengan<br />

mengabaikan kepentingan komunitas nagari dan yang tidak<br />

dilakukan secara baik pada tingkat nagari. Sebagian konflik yang<br />

terjadi di Provinsi Sumatera Barat, terutama yang bertujuan untuk<br />

merebut tanah bekas hak erfpacht dan HGU yang dikuasai oleh<br />

pemerintah maupun perusahaan berhubungan erat dengan cara<br />

pemerintah kolonial Belanda membangun ekonomi. Semua ini<br />

bermula dari respon pemerintah kolonial Belanda terhadap tuntutan<br />

kapitalis di negerinya sendiri untuk mendapatkan tanah bagi<br />

perluasan bisnis para kapitalis setempat. Pemerintahan kolonial<br />

Belanda mengeluarkan hukum agraria pada tahun 1870 untuk<br />

memungkinkannya memberikan hak sewa jangka panjang (erfpacht)<br />

kepada para investor asing (Benda-Backmann 1979, hal. 210-211<br />

dan Harsono 1999, hal. 37-42). Ayat satu undang-undang agraria<br />

tersebut berdampak besar terhadap masyarakat Minangkabau,<br />

karena undang-undang tersebut memuat Deklarasi Pemilikan yang<br />

menyatakan bahwa “semua tanah yang tidak bisa dibuktikan<br />

kepemilikannya adalah tanah negara”. Deklarasi Pemilikan ini<br />

diimplementasikan pada 1874 di Minangkabau (Amran 1985, hal.<br />

267 dan Benda-Beckmann dan Benda-Beckmann 2001, hal. 27).<br />

Undang-undang tersebut mengingkari hukum adat Minangkabau<br />

perihal pemilikan tanah karena Deklarasi Pemilikan itu tidak<br />

mengakui bukti kepemilikan tanah menurut hukum adat<br />

Minangkabau (Harsono 1999, hal. 41-42). Bahkan Gubernur Sumatra<br />

Barat (pada saat itu pantai barat), J. Ballot, berkeberatan dengan<br />

308286

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!