You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
seni hiburan<br />
teater<br />
nakal berikutnya.<br />
Dia bercerita tentang Jawa Dwipa, tentang<br />
Jawa yang sangat terbuka. Dulu Prabu Jayabaya<br />
pernah membuat ramalan “Jawa kehilangan<br />
Jawanya.” Namun, bagi Djaduk, dunia Jawa<br />
sudah menjadi bagian dari dirinya, semangat<br />
yang tidak bisa hilang dari identitasnya. Makna<br />
kelangan (kehilangan) yang disebut Jayabaya,<br />
menurut dia, cuma pada bentuk, sedangkan<br />
semangat dan filosofinya tetap tertanam dalam<br />
hati setiap orang Jawa.<br />
“Ilang yo ben (hilang ya biar saja). Rapopo. Cari<br />
lagi.” Bahkan, saking terbukanya, semua bisa<br />
diadopsi orang Jawa. Yang ekstrem, bahkan<br />
malu dan menyembunyikan Jawanya. “Orang<br />
Jawa yang baru beberapa hari tinggal di Jakarta<br />
bahasanya sudah pakai ‘idih’. Kalau lagi lupa,<br />
“Ini harganya pira (bukan piro, red.)”<br />
Yang menggelikan, dia mencontohkan kalimat,<br />
“Eh sekarang Indonesia punya presiden<br />
baru lo, Joko Widodo.”<br />
“Widodo, Widodo…. Wid-dhod-dho, Su!”<br />
Maka pecah suasana malam itu. Penonton bukan<br />
lagi menertawakan orang yang jadi contoh<br />
kasus, melainkan sedang menertawakan diri<br />
sendiri, menertawakan kekonyolan yang selama<br />
ini disembunyikan atau diingkari.<br />
Ya, Jawa Dwipa sama sekali bukan tentang<br />
romantisme Jawa. Komposisi ini jalan kembalinya<br />
Djaduk ke Jawa, melalui bunyi.<br />
Usai Bethari, yang melodinya dibuat untuk<br />
Opera Anoman (1997) yang ditulis Nano Riantiarno,<br />
Djaduk berlanjut ke Pesisir. Samar-samar<br />
tertangkap langgam Melayu dan Madura dengan<br />
dominasi rampak kendang dan suling.<br />
Majalah detik 25 - 31 agustus 2014