Laporan Situasi Hak Asasi Manusia di Indonesia Tahun ... - Elsam
Laporan Situasi Hak Asasi Manusia di Indonesia Tahun ... - Elsam
Laporan Situasi Hak Asasi Manusia di Indonesia Tahun ... - Elsam
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya juga <strong>di</strong>khawatirkan akan terhambat dengan<br />
<strong>di</strong>sahkannya RUU Pangan menja<strong>di</strong> undang-undang. Memerhatikan materinya, meski mencoba<br />
mengatur keseluruhan permasalahan yang berhubungan dengan pangan, namun UU Pangan<br />
belum sepenuhnya berorientasi pada pemenuhan hak atas pangan, sebagaimana <strong>di</strong>mandatkan<br />
oleh UU No. 11 <strong>Tahun</strong> 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional <strong>Hak</strong>-hak Ekonomi,<br />
Sosial dan Budaya. Kerancauan lain dari lahirnya UU Pangan yang baru ini adalah upaya<br />
menggabungkan antara konsep ketahanan pangan dan kedaulatan pangan, padahal keduanya<br />
berada pada posisi ideologis dan konseptual yang berbeda.<br />
Ketahanan pangan menitikberatkan pada keterse<strong>di</strong>aan pangan <strong>di</strong> pasar (availability of food in the<br />
market), pangan <strong>di</strong>anggap sebagai pengab<strong>di</strong> pasar. Konsep yang <strong>di</strong>bangun dari pandangan kaum<br />
Malthusian ini beranggapan bahwa kon<strong>di</strong>si ketidak-tahanan pangan dan kelaparan (famine),<br />
terja<strong>di</strong> sebagai akibat lemahnya faktor produksi dan keterse<strong>di</strong>aan semata. Pendapat ini <strong>di</strong>bantah<br />
oleh Amartya Sen yang telah membuka wacana baru tentang para<strong>di</strong>gma perolehan pangan (food<br />
entitlement para<strong>di</strong>gm). Menurut Sen, ketahanan pangan bukanlah jawaban utama untuk<br />
mengatasi bahaya rawan pangan/kelaparan, jikalau jaminan aksesabilitas tidak masuk ke<br />
dalamnya. Lebih jauh Sen menyatakan, kelaparan ialah cerminan kegagalan negara dalam<br />
melaksanakan fungsi-fungsi substansialnya terhadap masyarakat secara luas. 94<br />
Sementara konsepsi kedaulatan pangan, salah satunya ingin menjawab ketidaksempurnaan<br />
konsep ketahanan pangan. Konsep kedaulatan pangan baru <strong>di</strong>kenal semenjak tahun 1996,<br />
sebagai respon atas ancaman organisasi perdagangan dunia (WTO) kepada negara-negara miskin<br />
dalam menye<strong>di</strong>akan makanan pokok bagi penduduknya. 95 World Forum on Food Souverignty <strong>di</strong><br />
Havana, Kuba, pada 2001. kedaulatan pangan <strong>di</strong>definisikan sebagai instrumen untuk menghapus<br />
kelaparan, kurang gizi, serta menjamin ketahanan pangan yang berkelanjutan bagi semua<br />
orang. 96<br />
Masalah lain dari materi UU Pangan adalah tidak adanya perlindungan yang memadai bagi<br />
produsen pangan dengan skala kecil, yang mungkin hanya untuk mencukupi kebutuhan rumah<br />
94<br />
95<br />
96<br />
<strong>di</strong>sikapi oleh mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi dengan mengajukan permohonan ju<strong>di</strong>cial review ke<br />
Mahkamah Konstitusi.<br />
Pendapat Amartya Sen ini berkembang dari teori tentang “pemberian hak” (entitlement) yang <strong>di</strong>kemukakannya.<br />
Teori ini muncul sebagai kritik atas metode penanganan bencana kelaparan <strong>di</strong> beberapa negara dunia ketiga. Sen<br />
mengungkapkan bahwa bahaya kelaparan bukan mutlak <strong>di</strong>akibatkan oleh menurunnya produksi makanan, tetapi<br />
oleh makanisme sosial politik yang mengakibatkan kekurangan hak pertukaran (exchange entitlement) bagi<br />
kelompok penduduk miskin dan kaum rentan lainnya (vulnerable). Sebenarnya pangan terse<strong>di</strong>a melimpah,<br />
artinya ketahanan pangan terjamin, namun kelompok rentan tidak memiliki akses terhadap pangan yang terse<strong>di</strong>a,<br />
karena tidak adanya pemberian hak (entitlement). Lihat Amartya Sen, Poverty and Famines: An Essay on<br />
Entitlement and Deprivation, (Oxford: Clarendon Press, 1982), hal. 52-85.<br />
Lihat Witoro, “Memperdagangkan Kehidupan: Menelisik Nasib Beras <strong>di</strong> Bawah Pasal-pasal WTO”, dalam<br />
Sugeng Bahagijo, Globalisasi Menghempas <strong>Indonesia</strong>, (Jakarta: LP3ES, 2006), hal. 268-272.<br />
Secara lebih detail konferensi mendefinisikan kedaulatan pangan sebagai: “<strong>Hak</strong> rakyat untuk menentukan<br />
kebijakan dan strategi mereka sen<strong>di</strong>ri atas produksi, <strong>di</strong>stribusi dan konsumsi pangan yang berkelanjutan yang<br />
menjamin hak atas pangan bagi seluruh penduduk bumi, berdasarkan produksi yang berskala kecil dan<br />
menengah, menghargai kebudayaan mereka sen<strong>di</strong>ri dan keberagaman kaum tani, nelayan dan bentuk-bentuk<br />
alat produski pertanian, serta menghormati pengelolaan dan pemasaran <strong>di</strong> wilayah pedesaan, <strong>di</strong> mana<br />
perempuan memainkan peran yang mendasar”.<br />
56