Laporan Situasi Hak Asasi Manusia di Indonesia Tahun ... - Elsam
Laporan Situasi Hak Asasi Manusia di Indonesia Tahun ... - Elsam
Laporan Situasi Hak Asasi Manusia di Indonesia Tahun ... - Elsam
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
sehubungan dengan masalah HAM yang <strong>di</strong>hadapi. Masalah lainnya adalah sehubungan dengan<br />
prioritas penyelesaian pelbagai permasalahan HAM. Di sini Komnas HAM <strong>di</strong>tuntut untuk dapat<br />
menyusun prioritas bagi program yang akan <strong>di</strong>laksanakan selama periode tugas mereka.<br />
Sejumlah masalah HAM yang terus terja<strong>di</strong> dan hingga kini tidak terselesaikan, patut menja<strong>di</strong><br />
prioritas bagi program kerja Komnas HAM, seperti soal penyelesaian pelanggaran HAM berat<br />
yang terja<strong>di</strong> <strong>di</strong> masa lalu, sengketa lahan, kekerasan oleh aparat hukum, terutama polisi.<br />
Analisis dan Temuan<br />
Dengan mendasarkan kepada paparan <strong>di</strong> atas, bagaimana kita menilai situasi HAM <strong>di</strong> tahun<br />
2012? Dalam persoalan penanganan pelanggaran HAM masa lalu, tampak bahwa tidak ada usaha<br />
penyelesaian yang signifikan dari negara, terutama dari presiden dan jajarannya, selama tahun<br />
2012. Enam hasil penyeli<strong>di</strong>kan Komnas HAM atas kasus pelanggaran HAM masa lalu tidak<br />
<strong>di</strong>tindaklanjuti secara berarti oleh Kejaksaan Agung. Rekomendasi DPR pada September 2099<br />
untuk penyelesaian kasus penghilangan paksa 1997-1998 tetap <strong>di</strong>abaikan oleh presiden hingga<br />
tahun 2012 berakhir. Sementara penyusunan kembali RUU KKR, yang <strong>di</strong>batalkan Mahkamah<br />
Konstitusi pada Desember 2006, tidak memperlihatkan kemajuan berarti. Inisiatif Wantimpres<br />
mendorong penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, tidak memperoleh respons memadai dari<br />
presiden.<br />
Dari fakta-fakta tersebut, bila pemerintah atau presiden menyatakan akan menuntaskan kasuskasus<br />
pelanggaran HAM masa lalu, itu tentunya hanya lips service belaka. Dengan tidak adanya<br />
tindakan nyata, ini sekaligus menunjukkan bahwa negara cq pemerintah telah mengabaikan<br />
kewajibannya dalam memenuhi hak korban, seperti hak atas kebenaran (the right to know the<br />
truth), hak atas kea<strong>di</strong>lan (the right to justice), dan hak atas pemulihan (the right to reparation).<br />
Pemerintah dan elite politik <strong>di</strong> <strong>Indonesia</strong> cenderung tidak memiliki komitmen serius untuk<br />
menuntaskan penyelesaian pelbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu, bahkan ada yang malah<br />
khawatir bahwa usaha tersebut akan membuka luka lama. Kalau pun ada usaha, justru datang<br />
dari LPSK yang menye<strong>di</strong>akan bantuan me<strong>di</strong>s dan psikososial bagi korban. Juga, yang cukup<br />
fenomenal <strong>di</strong> tahun 2012 ini, permintaan maaf dari Walikota Palu dan rencana Pemda Palu untuk<br />
membantu para korban.<br />
Tidak berbeda dengan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, demikian pula yang terja<strong>di</strong> <strong>di</strong><br />
ranah penyelesaian sengketa lahan. Konflik kekerasan akibat sengketa lahan masih marak terja<strong>di</strong><br />
<strong>di</strong> tahun 2012 tanpa ada penyelesaian yang berarti. Di subsektor perkebunan saja setidaknya ada<br />
59 kasus. Dari serangkaian konflik-kekerasan ini, ada empat kasus yang mengakibatkan korban<br />
meninggal dunia. Meski sedemikian serius, tampaknya negara masih tidak memberikan respons<br />
yang memadai. Kalaupun pernah <strong>di</strong>bentuk tim terpadu untuk penyelesaian konflik tersebut pada<br />
2012 lalu, tidak tampak ada tindak lanjut apalagi hasilnya. Langkah ini juga lebih sebagai lips<br />
service saja. Penggantian Ketua BPN Joyo Winoto dengan Hendarman Supandji pada Juni 2012<br />
juga tidak memiliki efek yang berarti pada persoalan konflik lahan.<br />
Demikian pula dengan penanganan kasus-kasus penyiksaan. Selama tahun 2012, kejahatan<br />
penyiksaan masih sering terja<strong>di</strong>. Aparat kepolisian, yang seharusnya menja<strong>di</strong> pengayom<br />
masyarakat, justru merupakan pihak yang paling banyak <strong>di</strong>catat sebagai pelakunya. Dari<br />
banyaknya kasus penyiksaan yang terja<strong>di</strong>, pelakunya tak banyak yang <strong>di</strong>bawa ke ranah hukum.<br />
Kebanyakan malah <strong>di</strong>selesaikan lewat kesepakatan <strong>di</strong> luar hukum. Kalau pun ada yang <strong>di</strong>a<strong>di</strong>li,<br />
hukuman yang <strong>di</strong>jatuhkan relatif ringan. Miris, ada aparat penegak hukum (hakim) yang justru<br />
66