You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
HIGHLIGHTS<br />
Memandang ke bawah, lumpur cokelat dan<br />
genangan air keruh menjadi pemandangan<br />
kumuh yang tak terelakkan. Sama tak<br />
terelakkannya dengan keindahan barisan<br />
pegunungan berselimut salju yang melatari<br />
area kamp nun jauh di sana.<br />
Dari dalam tenda, beberapa pengungsi<br />
menyeruak keluar dan menghampiri kami.<br />
Banjir pelukan, itulah yang kami dapatkan<br />
kala itu. Tentu, pelukan tersebut ditujukan<br />
kepada kami yang satu mahram dengan<br />
mereka. Sebagian besar anak pengungsi<br />
tak kalah antusiasnya mengerumuni kami,<br />
walaupun ada satu atau dua anak yang<br />
terlihat malu untuk bergabung. Di titik ini,<br />
kami merasa mereka bukan lagi orang asing,<br />
namun kerabat dekat, terlepas adanya<br />
perbedaan fisik dan latar belakang lainnya di<br />
antara kami.<br />
Senyum dan tawa pengungsi<br />
Adanalioglu sesaat cukup mendistorsi<br />
emosi yang kami rasakan. Bagaimana<br />
tidak, di tengah keterpurukan keadaan yang<br />
menghimpit mereka, masih ada perbincangan<br />
yang diselingi tawa antara mereka dan kami,<br />
seakan semuanya tampak “normal”.<br />
Hidup di Adanalioglu<br />
Kamp Adanalioglu merupakan rumah<br />
sementara bagi lebih dari 130 keluarga Suriah<br />
yang mengungsi dari kebrutalan perang<br />
saudara di kampung halaman mereka.<br />
Sebagian dari mereka sudah menetap di<br />
kamp tersebut sejak perang berkecamuk<br />
enam tahun lalu. Namun, ada pula yang baru<br />
menetap beberapa bulan terakhir ini.<br />
Tidak seperti keadaan para pengungsi di<br />
zona hijau di utara Aleppo yang sepenuhnya<br />
bergantung oleh bantuan kemanusiaan,<br />
sebagian besar pengungsi di Kamp<br />
Adanalioglu memiliki pekerjaan sebagai buruh<br />
perkebunan di Mersin, Turki. Penghasilan<br />
yang mereka dapatkan tidak menentu dan<br />
tentu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan<br />
sehari-hari, terutama di musim dingin di mana<br />
jumlah kebutuhan mereka terus berlipat<br />
ganda. Lagi, bantuan kemanusiaan menjadi<br />
salah satu penopang pemenuhan kebutuhan<br />
hidup mereka tiap harinya.<br />
Menilik langsung ke dalam area kamp,<br />
kekumuhan yang sebelumnya sekilas kami<br />
lihat kini terpampang begitu jelas. Rantingranting<br />
pohon bercampur plastik, kaleng, dan<br />
botol bekas berserakan di beberapa sudut<br />
kamp yang tergenang air dan lumpur. Kami<br />
terus berjalan pelan sambil memperhatikan<br />
langkah agar tidak terpeleset. Semakin lama,<br />
langkah kami semakin berat karena lumpur<br />
padat menempel di seluruh permukaan sol<br />
sepatu kami.<br />
Ketika diperhatikan lebih dekat, bagian<br />
bawah beberapa tenda diganjal sejumlah sak<br />
pasir/tanah. Ada juga yang mengganjalnya<br />
dengan batu-batu kerikil putih. Pikir kami,<br />
mungkin air atau salju kerap merembes<br />
ke dalam tenda mereka, sehingga mereka<br />
perlu mengganjal bagian bawah tenda-tenda<br />
tersebut. Gambaran dingin dan lembabnya<br />
udara tenda langsung menyergap pikiran.<br />
Beberapa kali angin dingin menerpa<br />
wajah kami dan membuat beberapa helai<br />
pakaian pengungsi yang tergantung di<br />
tali jemuran mengayun pelan. Beberapa<br />
pengungsi yang melihat kedatangan kami<br />
menyapa dengan begitu ramah.<br />
“Cay..Cay,” tutur mereka dalam bahasa<br />
lokal menawarkan segelas teh Turki sebagai<br />
tanda keramahan. Dari gerakannya, mereka<br />
20<br />
<strong>Edisi</strong> 9/<strong>IX</strong>/<strong>2017</strong> | <strong>BENEFIT</strong>