16.03.2017 Views

Minimagz BENEFIT Edisi 9:IX:2017 low

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

SKDI<br />

Orang-orang Rohingya di Sittwe serupa<br />

dengan Rohingya di wilayah lain sepanjang<br />

Provinsi Rakhine. Nasib mereka tak berbeda,<br />

terbuang dan tertindas oleh mayoritas<br />

karena berbagai macam alasan untuk<br />

menindas. Tidak ada jaminan perlindungan<br />

keselamatan, pendidikan, asupan gizi yang<br />

baik, pendidikan, apalagi kasih saya dari<br />

lingkungan sekitar.<br />

Untuk Sittwe, beberapa pekan sebelum<br />

tutup tahun 2016 kemarin, Tim SOS Rohingya<br />

ke VIII berhasil masuk sampai ke Sittwe.<br />

Komitmen pun tercapai, di dalam sebuah<br />

kompleks tenda-tenda kumuh Internally<br />

Displaced Person (IDP) di tepian Kota Sittwe,<br />

tim mencoba untuk memulai pembangunan<br />

ulang sebuah bangunan sekolah.<br />

Meski pada kenyataannya bentuk<br />

sekolah itu tak bisa dianggap sebuah<br />

“bangunan”, hanya dibuat dari dinding<br />

anyaman bambu dan lantai tanah. Tapi<br />

sepanjang hari, “bangunan” sekolah itu<br />

dipakai oleh puluhan anak-anak Rohingya<br />

yang menetap di dalam kamp IDP.<br />

Sekolah tanpa nama, begitu<br />

orang-orang Rohingya di dalam kamp itu<br />

menyebutnya. Tak ada nama, tak ada fasilitas<br />

layak, hanya sekadar tempat bernaung<br />

sepanjang pagi sampai siang hari untuk<br />

belajar dan mengajar. Setelah berdiskusi<br />

dan proses perancangan bentuk bangunan,<br />

tim memutuskan untuk sekolah tanpa<br />

nama itu akan dilakukan rehabilitasi ulang.<br />

Membangun sekolah yang lebih layak,<br />

dengan lantai semen<br />

dan dinding yang tak lagi<br />

rapuh.<br />

Hasilnya pun mulai<br />

terlihat. Memasuki pekan<br />

kedua Januari <strong>2017</strong>, kabar<br />

datang dari relawan lokal<br />

yang menetap di Rakhine.<br />

Proses pengerjaan<br />

rehab ulang bangunan<br />

sekolah sudah berjalan.<br />

Sebagai permulaan,<br />

pekan kedua Januari <strong>2017</strong> ini akan dilakukan<br />

proses pelapisan semen untuk seluruh petak<br />

lantai sekolah. Kemudian berlanjut sampai<br />

ke proses rehab dinding, lalu atap, sampai<br />

melengkapi seluruh fasilitas sekolah.<br />

Para pemuda dan laki-laki di kamp itu<br />

bergotong royong memoles tanah dengan<br />

semen. Beberapa hari kemudian, bangunan<br />

anyam bambu telah menjadi madrasah<br />

sederhana yang nyaman untuk duduk<br />

menimba ilmu. Lantainya tak lagi tanah,<br />

berganti jadi lantai semen yang bersih. Meja<br />

panjang disusun berhadap-hadapan dengan<br />

tiang yang memisahkan antara santri putri<br />

dan putra.<br />

Kini, hampir setiap hari anak-anak di<br />

salah satu kamp pengungsian Sittwe itu<br />

dengan riang mengisi waktu untuk mengaji<br />

al-Qur’an dan membagi cerita-cerita.<br />

Madrasah itu jadi tempat nyaman bagi anakanak<br />

Rohingya itu untuk bercengkerama.<br />

Menariknya, berdasarkan penuturan<br />

mitra ACT di Sittwe, mereka memulai<br />

pelajaran dengan meminum teh bersama.<br />

Diawali dengan basmallah, mereka menghirup<br />

kehangatan teh seraya bersyukur untuk<br />

kenikmatan hari ini lalu berdoa agar konflik<br />

segera mereda<br />

Harapan anak-anak Rohingya di Sittwe<br />

itu sederhana saja, hingga akan ada suatu<br />

hari, di mana tak akan ada lagi kisah tentang<br />

sistem pemisahan ras dan penindasan karena<br />

perbedaan. Hari itu, kelak akan dikenang<br />

sebagai perdamaian.•<br />

88<br />

<strong>Edisi</strong> 9/<strong>IX</strong>/<strong>2017</strong> | <strong>BENEFIT</strong>

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!