Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
nasional<br />
Sejumlah pekerja seks duduk<br />
di "akuarium" sebuah wisma<br />
di Gang Dolly, Surabaya,<br />
Jawa Timur.<br />
rois jajeli/detikcom<br />
Tap/klik untuk berkomentar<br />
Yuli, 37 tahun, asal Trenggalek, Jawa Timur,<br />
mengaku akan memanfaatkan dana itu untuk<br />
membuka toko kelontong. “Saya juga mau<br />
pulang kampung,” katanya.<br />
Namun ada pula yang menolak menerima<br />
dana kompensasi. Sejumlah pekerja seks berkeras<br />
bertahan di lokalisasi Dolly dan Jarak. Alasannya,<br />
jumlah dana yang diberikan Pemerintah<br />
Kota Surabaya dan Kementerian Sosial itu tidak<br />
cukup untuk membiayai anak dan keluarga<br />
mereka di kampung.<br />
“Saya tahu apa yang saya lakukan ini tidak<br />
pantas. Tapi, mau bagaimana lagi, saya ingin<br />
anak saya menempuh pendidikan tinggi. Jangan<br />
sampai nasib susah juga menimpa anak saya,”<br />
ujar Yuni, salah satu penghuni wisma di Dolly.<br />
Dari tempat itu, Yuni memperoleh penghasilan<br />
hingga Rp 10 juta setiap bulan.<br />
Ko Juan, pemilik wisma Harmonis di Dolly,<br />
juga menolak penutupan tersebut. Dia beralasan<br />
pemerintah tidak menaksir ganti rugi<br />
bangunan. Menurut dia, jika Dolly ditutup, bangunan<br />
wisma harus dirombak agar bisa dijadikan<br />
tempat usaha lain. Dan itu membutuhkan<br />
biaya tersendiri.<br />
Dari bisnis tersebut, Juan mengaku mendapat<br />
omzet Rp 60 juta per bulan. Sebelum ada<br />
kabar penutupan lokalisasi Dolly, pekerja seks<br />
yang bekerja di wismanya mencapai 21 orang,<br />
dengan 3 pekerja pria serta 3 pembantu rumah<br />
tangga. Namun kabar penutupan membuat<br />
pekerja seks di wismanya berkurang menjadi<br />
10 orang.<br />
“Wali Kota harus mikirno. Buktek’no disek,<br />
Majalah detik 30 juni - 6 juli 2014