29.11.2014 Views

EJurnal_1409_03 Edisi september ok

EJurnal_1409_03 Edisi september ok

EJurnal_1409_03 Edisi september ok

SHOW MORE
SHOW LESS

Create successful ePaper yourself

Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.

Kata Kunci bersumber dari artikel Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa ijin dan biaya<br />

kurang relevan dengan sistem pemilu yang terpisah antara pemilu nasional (pileg dan<br />

pilpres) dan pemilukada dengan sistem multi partai. Realitas politik dengan sistem yang<br />

dianut saat ini, menimbulkan berbagai konflik antar konstituen, ongkos politik yang sangat<br />

tinggi bagi pemerintah maupun kandidat (calon), menguatnya money politics yang sulit<br />

dihindari sebagai dampak suara terbanyak, pengaruh negatif terhadap psikologi kandidat<br />

ketika kalah ataupun menang dalam pertarungan politik, adanya koalisi yang tidak<br />

“sehat” dalam pelaksanaan pemerintahan, karena berbagai kepentingan ideologi politik<br />

dan individu, serta problematika terhadap kebijakan-kebijakan strategis pemerintahan.<br />

Korelasi antara sistem pemilu serentak dengan sistem multi partai yang disederhanakan<br />

merupakan solusi alternatif dalam penguatan sistem presidensial untuk meningkatkan<br />

kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.<br />

Artikel kelima berjudul “Konstitusionalitas Dan Model Pendidikan Karakter Bangsa<br />

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi”. Dalam pembahasannya penulis Putusan Mahkamah<br />

Konstitusi Nomor 100/PUU-XI/2013 menyatakan Pancasila sebagai dasar negara yang<br />

tercantum dalam pembukaan UUD 1945 kedudukannya tidak bisa disejajarkan dengan<br />

UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI yang oleh Pasal 34 ayat (3b) huruf a UU<br />

Parpol disebut sebagai empat pilar berbangsa dan bernegara. Mengingat manfaatnya<br />

bagi upaya membangun karakter bangsa, Mahkamah Konstitusi tetap menyatakan<br />

konstitusional upaya partai politik maupun lembaga negara lainnya yang melaksanakan<br />

pendidikan politik melalui pemasyarakatan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika.<br />

Mahkamah Konstitusi memberikan model pendidikan karakter yang perlu dikembangkan<br />

yaitu tidak terbatas kepada keempat hal tersebut, melainkan masih banyak aspek lainnya<br />

antara lain, negara hukum, kedaulatan rakyat, wawasan nusantara, ketahanan nasional,<br />

dan lain sebagainya. Pemerintah pada dasarnya memegang tanggung jawab utama dalam<br />

melaksanakan pendidikan karakter bagi warga negaranya. Pemerintah perlu memikirkan<br />

alternatif untuk membentuk sebuah lembaga khusus untuk merumuskan dan melaksanakan<br />

pendidikan karakter bangsa yang efektif.<br />

Artikel keenam berjudul “Pemilu Serentak dan Masa Depan Konsolidasi Dem<strong>ok</strong>rasi”.<br />

Penulis berpendapat bahwa perkembangan transisi dem<strong>ok</strong>rasi di Indonesia berjalan sangat<br />

pesat pasca dilakukannya amandemen UUD 1945. Salah satu perkembangan dalam bingkai<br />

politik ketatanegaraan ditandai dengan rumusan konstitusi yang memberikan kerangka<br />

dasar bernegara bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut<br />

Undang-Undang Dasar. Atas dasar rumusan tersebut maka suksesi kepemimpinan dalam<br />

cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif dilaksanakan secara langsung sebagaimana<br />

mandat Pasal 22 E ayat (2). Namun demikian dalam praktik ketatanegaraan pengaturan di<br />

dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemlihan Umum Presiden dan Wakil<br />

Presiden menunjukkan hal yang inkonsisten dengan rumusan di dalam konstitusi.<br />

Artikel ketujuh berjudul “Rekonstruksi Sistem Pemidanaan Dalam Undang-Undang<br />

Perpajakan Berdasarkan Konsep Ultimum Remidium”. Penulis berpendapat bahwa<br />

Penggunaan sanksi pidana di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang<br />

Ketentuan Umum Perpajakan, menimbulkan permasalahan hukum dalam tataran<br />

konseptual. Bahwa Hukum Pajak merupakan bagian dari Hukum Administrasi Negara,<br />

membutuhkan upaya paksa bagi Wajib Pajak, khususnya Pengusaha Kena Pajak (PKP), yang<br />

pada prinsipnya merupakan suatu bentuk kriminalisasi terhadap perilaku administratif.<br />

Hukum Pidana, melalui Asas Legalitas menginginkan adanya pengaturan norma sanksi<br />

yang tegas dan jelas di dalam peraturan perundang-undangan, nampak justru dilanggar<br />

dalam UU KUP tersebut. Parameter tindak pidana perpajakan hanya dibatasi dengan unsur<br />

Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 3, September 2014<br />

v

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!