20.01.2015 Views

C4z4lX

C4z4lX

C4z4lX

SHOW MORE
SHOW LESS

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

KOLOM<br />

SUAMI:<br />

Aristo Priyantoro<br />

ANAK:<br />

n Yustia Rahma<br />

Priyantari<br />

n Nahlia Riska Priyantari<br />

PENDIDIKAN<br />

n SD Muhammadiyah<br />

Blora, 1976<br />

n Pondok Pesantren<br />

Pabelan, Magelang,<br />

Jawa Tengah, 1982<br />

n UIN Sunan Kalijaga,<br />

Yogyakarta, 1987<br />

n Master Sosiologi,<br />

Monash University,<br />

Australia, 1993<br />

n Doktor Sosiologi,<br />

Universitas Gadjah<br />

Mada, 2011<br />

n Short course and<br />

fellowship<br />

n Human Rights<br />

Documentation,<br />

Tidak demikian halnya di negara non-Eropa, seperti Indonesia, negara diharapkan<br />

terlibat dalam urusan agama (termasuk perkawinan) sebagai cerminan masyarakat<br />

agamis yang menolak sekularisasi (pemisahan negara dengan agama).<br />

Perkawinan beda agama menjadi salah satu burning issues ketika dihadapkan<br />

pada rumusan hak asasi manusia yang terdapat dalam konstitusi Undang-Undang<br />

Dasar 1945, bahkan sebelum diamendemen. Penambahan Pasal 28 tentang HAM<br />

sebagai landasan tentang keyakinan dan agama sebagai non-derogative right dan<br />

permissible limitation mengundang multitafsir. Sebagai hak non-derogatif, keyakinan<br />

dan agama seseorang secara substantif adalah absolut dan tidak dapat diintervensi<br />

oleh siapa pun, termasuk oleh negara. Hal ini sejalan dengan Pasal 18<br />

International Covenant on Civil and Political Rights yang telah diratifikasi Indonesia<br />

melalui Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Namun negara sebagai duty<br />

bearer diberi wewenang melakukan “pembatasan yang dibolehkan” guna menjaga<br />

ketertiban dan moral umum.<br />

Terkait dengan masalah perkawinan beda agama, sekelompok mahasiswa Universitas<br />

Indonesia yang mengajukan permohonan judicial review ke Mahkamah<br />

Konstitusi berpandangan, negara telah melampaui wewenangnya karena perkawinan<br />

masih dipandang sebagai bagian dari non-derogative right, di mana negara<br />

harus menghormati dengan tidak melakukan intervensi. Di samping itu, perkawinan<br />

ini tidak masuk kategori perbuatan yang harus dibatasi (permissible limitation) karena<br />

bukan perbuatan yang mengancam ketertiban dan moral umum. Sebaliknya,<br />

kelompok yang mempertahankan aturan ini berpendapat perkawinan merupakan<br />

manifestasi dari keyakinan yang mengandung tindakan sosial dan, karena itu, dapat<br />

dikenai prinsip permissible limitation.<br />

Perkawinan satu iman menjadi asas semua agama karena menyangkut keab-<br />

MAJALAH DETIK 22 - 28 SEPTEMBER 2014

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!