Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia
Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia - Biar sejarah yang bicara
Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia - Biar sejarah yang bicara
- No tags were found...
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
sebagai presiden untuk ketujuhkalinya secara aklamasi<br />
pada bulan Maret 1998. Para wakil ini seakan tak mampu<br />
mendengar dan melihat kenyataan, bahwa rakyat sudah<br />
bosan dengan gaya kepemimpinan orba yang gagal<br />
memberikan kemakmuran dan keamanan bagi rakyatnya.<br />
Sidang yang sama juga mengangkat BJ Habibie sebagai<br />
Wapres, satu posisi yang menjadi semakin strategis<br />
seiring meningkatnya usia Soeharto. Rasanya janggal bila<br />
MPR tak tahu bahwa rakyat secara umum tak menghendaki<br />
Soeharto lagi, mengingat sejak pertengahan<br />
dasawarsa '90-an tuntutan itu sudah sangat transparan.<br />
Kriteria calon presiden yang dilontarkan Ketua Dewan<br />
Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim se <strong>Indonesia</strong> (ICMI) Dr.<br />
Amien Rais secara gamblang menunjukkan penolakan itu.<br />
Jauh sebelum itu Sri Bintang Pamungkas, politikus PPP,<br />
terang- terangan menolak Soeharto.<br />
Penolakan terhadap orba semakin kuat lagi setelah<br />
pembentukan Kabinet Pembangunan VII bulan Maret<br />
1998. Hanya sehari setelah <strong>Presiden</strong> dan Wapres disumpah,<br />
lebih 10 ribu mahasiswa berkumpul di kampus UI<br />
Depok. Di hadapan mereka Amien Rais, pakar sosiologi<br />
UGM dan Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah,<br />
menegaskan kembali ultimatumnya. Pemimpin<br />
reformasi itu menyatakan akan mengerahkan people<br />
power yang damai, jika dalam tempo 6 bulan kabinet yang<br />
baru terbentuk tak mampu mengatasi krisis ekonomi dan<br />
moneter. Sebelumnya pada ulang tahun Harian Republika<br />
di Hotel Regent Jakarta, Amien juga telah menyampaikan<br />
hal senada. Ketika itu antara lain Amien meminta MPR<br />
segera mencari alternatif lain, jika dalam waktu 6 bulan<br />
keadaan negara menjadi semakin parah.<br />
Namun rakyat yang lapar dan putus asa tak punya<br />
cukup kesabaran selama itu. Belum dua bulan Kabinet<br />
Pembangunan VII berjalan, masyarakat sudah merasa<br />
semakin tidak tahan. Titik terang dianggap belum terlihat,<br />
meskipun para menteri telah bekerja keras siang-malam.<br />
Sebagai bukti orang menunjuk keengganan IMF mencairkan<br />
pinjamanannya. Dunia luar semakin tidak percaya<br />
kepada pemerintah, dan negeri tercinta dianggap beresiko<br />
tinggi sebagai tempat berinvestasi. Sementara (Letter of<br />
Credit (LC) pengusaha <strong>Indonesia</strong> tidak diterima di mancanegara<br />
. Tanpa jaminan negara lain ekspor-impor menjadi<br />
sulit dilakukan. Sementara uss semakin liar saja dan<br />
bertengger di atas Rp 10 ribu/US$. Nilai Rp terus<br />
mengempis. Pada 22 Januari 1998 saja kurs sudah<br />
melampaui Rp 13 ribu/USS.<br />
2. Expatriat Memasuki Masa Suram<br />
Keadaan yang menyesakkan dada itu tidak hanya<br />
menimpa pengusaha, profesional dan rakyat <strong>Indonesia</strong><br />
secara keseluruhan, tapi juga menerpa para pekerja dan<br />
profesional asing (ekspatriat). Selama puluhan tahun<br />
mereka memang menikmati kemewahan di negeri ini<br />
dengan gaji Uss puluhan ribu/bulan, berkali-kali lipat di<br />
atas pribumi dengan kemampuan setara. Itu pun masih<br />
ditambah berbagai fasilitas mewah, termasuk kendaraan<br />
dan perumahan. Kini saat dunia usaha menggigil kesulitan<br />
likuiditas, mereka harus rela menerima bayaran di bawah<br />
standar. Banyak perusahaan yang mempekerjakan ekspatriat,<br />
menerapkan formula baru dalam sistem penggajian.<br />
Alasannya sederhana saja: menekan biaya operasional<br />
agar perusahaan tak bangkru t. Tenaga kerja asing yang<br />
mahal itu tentu boleh memilih berhenti dari pekerjaannya<br />
atau sekalian kembali ke negerinya bila tak setuju dengan