Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia
Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia - Biar sejarah yang bicara
Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia - Biar sejarah yang bicara
- No tags were found...
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
"Industri yang berada di bawah payung Badan Pengembangan<br />
Industri Stra tegis (BPIS)," jawab seorang mahasiswa<br />
yakin. "PT Industri Pesawat Terbang Nusantara<br />
(IPTN), PT PAL, Pindad, dan lain-lain. Pokoknya industriindustri,<br />
yang dengan segala cara dan fasilitas, pengembangannya<br />
dipilo ti man tan Menris tek BJ . Habibie,"<br />
tambahnya cepat ketika dimintai penjelasan lebih lanjut.<br />
Mahasiswa Fakultas Ekonomi (semester VI) salah satu<br />
universitas terkemuka di tanah air tersebut tentu tidak<br />
salah. Agaknya begitulah citra yang berkembang di<br />
masyarakat tentang industri stra tegis yang dikembangkan<br />
Soeharto selama 32 tahun.<br />
Jadi meskipun definisi industri stra tegis masih bisa<br />
diperdebatkan, juga cakupannya. Toh sampai saat ini<br />
orang seperti sepakat, bahwa yang termasuk dalam<br />
industri stra tegis adalah kesepuluh BUMN yang pada masa<br />
Orde Baru berada di bawah payung BPIS. Mereka adalah:<br />
PT Pindad, PT Dahana, PT Industri Telekomunikasi<br />
<strong>Indonesia</strong> (INTI), PT Industri Kereta Api (INKA), PT<br />
Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), PT PAL<br />
<strong>Indonesia</strong> (industri perkapalan), PT LEN <strong>Indonesia</strong>, PT<br />
Krakatau Steel (industri baja), PT Barata <strong>Indonesia</strong>, dan<br />
PT Boma Bisma Indra (spare part) . Begitulah sampai rezim<br />
orba rontok oleh krisis dan gerakan reformasi, rakyat<br />
terdidik negeri ini cuma memiliki pema-haman dangkal soal<br />
pembangunan industri stra tegis di negerinya.<br />
Pemahaman dangkal anak bangsa itu sekaligus<br />
menunjukkan bahwa Soeharto bersama kabinet pembangunan<br />
I - VII-nya gagal mengambil hati rakyat untuk ikut<br />
mendukung industrialisasi yang dicanangkannya. Padahal<br />
dia merupakan program serius dan bersifat jangka<br />
panjang. Landasan utamanya bukanlah kapur, pasir dan<br />
semen bertulang baja, tapi nasionalisme, rasa kebangsaan<br />
dan tekad yang kuat untuk berdiri sama tinggi di hadapan<br />
bangsa-bangsa lain.<br />
Tanpa nasionalisme, keinginan untuk mandiri, pemahaman<br />
geografi dan geopolitik yang benar, maka pembangunan<br />
industri di negeri ini sampai kapan pun akan<br />
menghadapi banyak hambatan. Sebab dia tak punya akar<br />
tunggang yang kuat dan menjalar kemana-mana, tapi<br />
bergantung di awang-awang. Industri yang dibangun<br />
dengan cara seperti itu sangat rentan terhadap goncangan.<br />
Satu kali saja patronnya diganggu atau ditekan<br />
oleh kekuatan lain yang lebih besar, maka industri yang<br />
dibangunnya akan ikut rontok tanpa pembela. Padahal<br />
pembangunan industri memerlukan perencaan, effort,<br />
biaya dari pemerintah, dan dukungan penuh rakyat secara<br />
kontinyu, seperti yang telah dilakukan pemerintah AS,<br />
Jepang, Korea, Malaysia, dan lain-lain ke tika membangun<br />
industri mereka. Tanpa itu semua, maka investasi masa<br />
depan yang ditanam pemerintah bertahun- tahun akan<br />
disamakan dengan biaya, atau bahkan dihitung sebagai<br />
kerugian oleh para pakar, pengamat ekonomi, kaum<br />
terdidik, dan akhirnya rakyat.<br />
Pembinaan petani garam, misalnya, agar mereka bisa<br />
memproduksi garam berkualitas tinggi, beryodiom dan<br />
lain-lain, dengan mudah akan dihitung sebagai proyek<br />
rugi. Semua komponen biaya sampai menjadi garam dan<br />
sampai ke tangan konsumen akan diakumulasi. Lalu dibagi<br />
dengan volume garam yang dihasilkan. Angka yang<br />
didapat per ton, misalnya, kemudian disandingkan dengan<br />
harga garam impor saat itu. Bila angka yang didapat<br />
ternyata lebih tinggi daripada harga garam impor, maka<br />
pemerintah akan disarankan untuk segera saja meng-