Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia
Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia - Biar sejarah yang bicara
Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia - Biar sejarah yang bicara
- No tags were found...
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Bawazier, berlomba-Iomba menawarkan dan melemparkan<br />
dananya ke <strong>Indonesia</strong>. Mereka memuji-muji <strong>Indonesia</strong><br />
sebagai negeri yang 'very good.' Fundamen tal ekonomi<br />
<strong>Indonesia</strong> dinilai kuat. Pokoknya semua 'happy.' Seandainya<br />
tidak ada masalah kurs, mungkin sekarang masih okeoke<br />
aja. Orang masih mampu membayar utang dalam dan<br />
luar negeri. Fu'ad menilai dalam urusan nilai tukar Rp,<br />
pemerintah kurang teguh pendirian dan terlalu banyak<br />
mendengar suara-suara luar.<br />
Fu'ad mengakui masih banyak yang tidak benar dalam<br />
ekonomi <strong>Indonesia</strong>. Ada sistem ekonomi liberal berdampingan<br />
dengan monopoli, tata niaga, dan sistem<br />
perbankan dengan bank sentralnya yang amburadul.<br />
Perbankan sangat dimanjakan lewat program penjaminan,<br />
sehingga pengelolaannya menjadi tidak 'prudent: Meski<br />
demikian, dia yakin, semuanya masih bisa dibenahi, asal<br />
tidak dalam keadaan panik. Namun kurs sebagai sumber<br />
malapetaka mesti dikendalikan dulu. Kalau tidak, makin<br />
sulit membenahi struktur ekonomi yang kacau, inefisien<br />
dan distortif. Untuk mengatasi masalah kurs ini, Fu'ad<br />
menyarankan agar pemerintah menerapkan currency bord<br />
system (CBS), satu kubu dengan Peter F. Gontha yang<br />
memboyong Steve Hanky.<br />
Sebaliknya kubu IMF lebih senang membiarkan nilai<br />
tukar Rp mengambang seperti itu. Mereka menganggap<br />
nanti juga beres sendiri . Fu'ad sendiri berpendapat resep<br />
IMF mungkin akan bermanfaat, tapi bukan pada saat<br />
utang pemerintah dan swasta sedang jatuh tempo. Jika<br />
masalah nilai tukar tidak diselesaikan segera, kata orang<br />
Banyumas itu, program-program jangka panjang yang<br />
dikemas IMF dalam satu bundel dengan pinjaman akan<br />
sia-sia. Bahkan pak Harto sendiri, ka ta dia, akhirnya<br />
menyadari bahayanya pelepasan band intervensi itu. Dari<br />
situlah muncul ide CBS. Fu'ad sendiri mengaku tak<br />
menolak resep generik IMF yang dikenal dengan Le tter of<br />
Intent (LoI), asal masalah kurs diselesaikan dulu. Saat<br />
masuk Kabinet Pembangunan VII, Fu'ad memang berupaya<br />
menggiring USS ke tingkat yang wajar terhadap Rp. Dia<br />
mematok Rp 6.000jUSS sebagai prasyarat perundingan<br />
dengan IMF, tapi Soeharto keburu lengser diterjang<br />
reformasi dan Fu'ad tak ikut 'berlari' pada estafet berikutnya<br />
di bawah Habibie<br />
Masalah kurs Rp ini sebenarnya memang tak bisa<br />
dianggap enteng. Agar lebih mudah dipahami, marilah kita<br />
ambil contoh PLN. Di samping karena berbagai salah urus,<br />
kebocoran, in efisiensi dan proyek listrik swasta yang<br />
mahal, perusahaan listrik negara ini sangat dirugikan oleh<br />
kurs. Menurut Dirut PLN Eddie Widiono, dalam sebuah<br />
wawancara dengan penulis untuk majalah SWA, pada<br />
tahun 1996, PLN berhasil menuai laba Rp 1,2 triliun. Kurs<br />
waktu itu cuma Rp 2.407jUS$ (kurs ini sebenarnya<br />
ketinggian, tahun itu cuma sekitar Rp 2.100-2.300jUSS) .<br />
Masih menurut Eddie pada 1997 ketika nilai rupiah melorot<br />
menjadi rata-ra ta Rp 4.673jUSS, PLN membukukan rugi Rp<br />
0,6 tiliun. Tahun 1998 kerugian PLN meningkat menjadi Rp<br />
9,2 triliun, kurs Rp 8.065jUSS. Tahun 1999 kerugian membangkak<br />
lagi menjadi Rp 11,4 triliun, kurs Rp 8 .136jUS$.<br />
Tahun 2000 kerugian PLN meningkat drastis menjadi Rp<br />
23,4 triliun, selnng mengemplsnya kurs menjadi Rp<br />
9.643jUSS.<br />
Melihat angka-angka kerugian di atas, tentu masuk<br />
akal bila banyak pakar ingin menerapkan kurs tetap lewat<br />
CBS atau kembali ke sistem 'managed floating ra te :<br />
Dengan demikian rakyat tidak perlu ikut menanggung