Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia
Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia - Biar sejarah yang bicara
Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia - Biar sejarah yang bicara
- No tags were found...
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
<strong>Indonesia</strong> 'callaps' cuma dengan sekali terjangan nilai<br />
tukar. Lalu dunia industri, yang mestinya bisa jadi tumpuan,<br />
justru masuk barisan yang paling dulu tergulung.<br />
Sebanyak 1.689 perusahaan besar dan menengah, yang<br />
selama ini dianggap sebagai pemutar mesin industri,<br />
terperangkap dalam jebakan utang.<br />
Jebakan itu seperti tak pandang bulu, baik yang<br />
terafiliasi dengan grup usaha besar maupun yang di luar<br />
itu, dijeratnya sampai lunglai. Grup Mantrust yang sudah<br />
menjalar kemana-mana sejak 1958, sekadar menyebut<br />
sebagian saja, masuk bersama anak-anak perusahaannya.<br />
Lalu perusahaan petrokimia milik konglomerat Prayogo<br />
Pangestu Chandra Asri, Indofood Sukses Makmur milik<br />
Grup Salim, Asia Pulp & Paper milik Eka Tjipta Widjaja<br />
(Sinar Mas) dan Grup Gajah Tunggal milik Syamsul<br />
Nursalim pun masuk jaring. Juga Grup Bimantara milik<br />
Bambang Trihatmojo dan Timor Putra Nasional milik<br />
Tommy Soeharto. Daftar ini masih bisa diperpanjang<br />
dengan perusahaan tekstil law as semacam Apac Inti<br />
Corpora, Kiani Kertas milik Bob Hasan (Grup Nusamba),<br />
Grup Bakrie milik keluarga Bakrie, Grup Bukaka milik Jusuf<br />
Kalla, dan berbagai perusahaan BUMN semacam Garuda,<br />
Industri Pesawat Terbang Nasional (IPTN), dan lain-lain.<br />
Bahkan si perin tis industri otomotif <strong>Indonesia</strong> Grup Astra<br />
International, yang sudah pindah tangan dari keluarga<br />
William Suryadjaya, dan saingannya Suzuki Indomobil<br />
International milik Grup Salim ikut terjerembab. Kedua<br />
raksasa otomotif itu kini hanya menjalani fu ngsi marketing<br />
dari principalnya di Jepang, tak ada pembicaraan soal alih<br />
teknologi.<br />
Kedua perusahaan perakitan otomotif itu, yang<br />
memang tak pernah naik kelas menjadi perusahaan<br />
manufaktur otomotif beneran, bersama ra tusan perusahaan<br />
lain pindah tangan. Begitulah satu demi satu,<br />
raja-raja utang itu harus menyerahkan perusahaan atau<br />
anak-anak perusahaan yang telah dibangun puluhan<br />
tahun kepada kreditor atau principalnya. Yang masih<br />
prospektif dibiarkan hidup. Yang tak punya harapan dijual<br />
laiknya investaris dengan harga murah untuk menutup<br />
utang. Sementara IPTN, yang telah dibangun bertahuntahun<br />
dan prospektif dari sisi industri dan bisnisnya,<br />
terpaksa harus dibiarkan mangkrak karena urat dananya<br />
dicabut paksa IMF lewat LoI. Demikianlah sebagian besar<br />
jerih payah selama 3 dasawarsa cuma meninggalkan rasa<br />
lelah dan sakit. Hasil panennya harus dipersembahkan<br />
kepada sang kreditor yang selama ini dianggap dermawan.<br />
Itu pun tidak membuat utang-utang tersebut lunas.<br />
Malah sebaliknya makin membengkak, karena nilai mata<br />
uang sendiri mengempis sampai 500%.<br />
Akhir yang nista seperti itu tentu membuat orang<br />
terpaksa menoleh ke belakang, memelototi kembali<br />
strategi industrialisasi yang sudah berjalan tiga puluh<br />
tahun lebih dan gagal. Padahal selama sepuluh tahun<br />
terakhir sebelum krisis menerjang, ekspor non migas<br />
<strong>Indonesia</strong> terus meningkat. Tak heran bila banyak<br />
kalangan menilai strategi pengembangan industri broad<br />
spectrum yang sudah berjalan cukup bagus. Salah<br />
seorang pakar yang sangat percaya pada kebijakan broad<br />
spectrum itu adalah Prof. M Sadli dari FE-UI. Dia bahkan<br />
pernah menyarankan agar kebijakan broad spectrum itu<br />
tidak diubah untuk memberi kepastian kepada para<br />
investor. Menurutnya kebijakan tersebut telah terbukti<br />
berhasil membangun industri manufaktur sebagai basis<br />
ekspor.