26.09.2015 Views

Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia

Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia - Biar sejarah yang bicara

Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia - Biar sejarah yang bicara

SHOW MORE
SHOW LESS
  • No tags were found...

You also want an ePaper? Increase the reach of your titles

YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.

Malaysia, Korea Selatan, Cina dan Thailand tidak memiliki<br />

sumber daya alam yang besar seperti <strong>Indonesia</strong>. Di bawah<br />

pengaruh dan kekuasaan Mafia Berkeley I utang yang<br />

besar dan habisnya kekayaan alam dan hutan yang rusak,<br />

ternyata hanya menghasilkan pendapatan per kapita<br />

sekitar US$ 1.100. dan pemenuhan kebutuhan dasar<br />

sangat minimum serta ke tergantungan mental maupun<br />

finansial terhadap utang luar negeri .<br />

Menjadi pertanyaan, mengapa Mafia Berkeley gagal<br />

membawa <strong>Indonesia</strong> menjadi negara yang sejahtera dan<br />

besar di Asia walaupun berkuasa selama nyaris 40 tahun?<br />

Karena stra tegi dan kebijakan ekonomi <strong>Indonesia</strong> yang<br />

dirancang oleh Mafia Bekeley akan selalu menempatkan<br />

<strong>Indonesia</strong> sebagai subordinasi (sekadar kepanjangan<br />

tangan) dari kepentingan global. Padahal tidak ada<br />

negara menengah yang berhasil meningkatkan kesejahteraannya<br />

dengan mengikuti model Washington Konsensus.<br />

Kemerosotan selama tiga dekade di Amerika Latin<br />

(1970-2000) adalah contoh monumental dari kegagalan<br />

tersebut. Justru negara-negara yang melakukan penyimpangan<br />

dari model Washington Konsensus seperti Jepang,<br />

Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, Cina, dan lain-lain.<br />

berhasil meningkatkan kesejahteran dan memperbesar<br />

kekuatan ekonominya. Negara-negara yang berhasil<br />

tersebut mengikuti model pembangunan Asia Timur yang<br />

memberikan peranan yang seimbang antara negara dan<br />

swasta, serta ketergantungan utang yang minimal. Dua<br />

negara Asia, <strong>Indonesia</strong> dan Filipina yang patuh pada<br />

Washington Konsensus, mengalami kemerosotan ekonomi<br />

terus-menerus, ketergantungan utang yang permanen,<br />

ke timpangan pendapatan sangat mencolok, dan menonjol<br />

hanya sebagai eksportir Tenaga Kerja Wllnita (TKW).<br />

Subordinasi kepentingan rakyat dan nasional kepada<br />

kepentingan global mengakibatkan <strong>Indonesia</strong> tidak memiliki<br />

kemandirian dalam perumusan Undang-Undang, stra tegi<br />

dan kebijakan ekonomi. <strong>Indonesia</strong> juga tidak memiliki<br />

fleksibilitas untuk merumuskan stra tegi ekonomi karena<br />

terpaku pada model generik Washington Konsensus.<br />

Padahal model tersebut dirancang terutama untuk memperjuangkan<br />

kepentingan ekonomi global sehingga<br />

negara-negara yang mengikutinya justru akan gagal<br />

meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Hasil tipikal dari<br />

model Washington Konsensus adalah siklus terus-menerus<br />

dari "krisis ekonomi dan akumulasi utang", seperti yang<br />

terjadi di banyak negara La tin Amerika, Afrika dan<br />

<strong>Indonesia</strong>. Krisis ekonomi biasanya diselesaikan hanya<br />

dengan menambah beban utang yang kemudian akan<br />

kembali menjadi sumber krisis baru. Namun, dari segi<br />

kepentingan ekonomi global, krisis ekonomi merupakan<br />

peluang untuk memaksa negara yang bersangkutan<br />

melakukan liberalisasi ekstrim dan privatisasi ugal-ugalan.<br />

Liberalisasi ekstrim ala Washington Konsensus sangat<br />

berbeda dengan keterbukaan bertahap dan penuh persiapan<br />

untuk memperkuat kekuatan ekonomi domestik<br />

seperti Malaysia, Cina, Jepang dan lain-lain. Ketergantungan<br />

utang dan intelektual terhadap kreditor juga<br />

memungkinkan kepentingan global ikut intervensi<br />

merumuskan Undang-undang dan Peraturan Pemerintah<br />

seperti Undang-undang tentang privatisasi air, BUMN,<br />

migas dan sebagainya.<br />

Jelas sekali dari uraian tersebut di atas, selama tidak<br />

ada perubahan dalam arah dan kepemimpinan ekonomi,<br />

<strong>Indonesia</strong> tidak akan pernah mampu mengangkat kesejahteraan<br />

mayoritas rakyat dan menjadi salah satu negara

Hooray! Your file is uploaded and ready to be published.

Saved successfully!

Ooh no, something went wrong!