Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia
Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia - Biar sejarah yang bicara
Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia - Biar sejarah yang bicara
- No tags were found...
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
Bank Dunia dan pemerintah AS?<br />
Jawaban atas pertanyaan itu masih terbuka . Sebagai<br />
presiden yang peduli pada nasib bangsanya, SBY<br />
tentu lebih punya peluang untuk memainkan truf itu.<br />
Apalagi Boediono dan ibu Ani-begitu Menkeu kerap disapa,<br />
telah menandatangani kontrak politik. Namun bungkamnya<br />
pasangan Boediono-Srimulyani dalam urusan tambang<br />
minyak Cepu seperti memberi isyara t bahwa SBY -JK belum<br />
mampu memainkan truf itu untuk kepentingan bangsanya.<br />
Apalagi setelah blok itu betul-betul diserahkan pemerintah<br />
kepada Exxon Mobil Corporation (14 Maret 2006) dengan<br />
memecat Dirut Pertamina Widya Purnama, satu hari<br />
sebelum Menteri Luar Negeri AS Condoleeza Rice tiba di<br />
Jakarta. Untung saja Condy, begitu Menlu AS itu disapa,<br />
tidak membawa pesan dari bosnya agar pemerintah<br />
<strong>Indonesia</strong> memenjarakan Dirut Pertamina yang 'mbeling' itu.<br />
Kalau saja pemerintah AS juga memintanya sebagai<br />
prasyarat bagi kepercayaan internasional yang mahal itu,<br />
bukan tidak mungkin akan ada tim yang bisa mencarikan<br />
segudang kesalahan Widya untuk digiring ke balik trali<br />
besi. Seiring pemecatan itu pembongkaran terhadap<br />
borok-borok Pertamina yang marak selama setahun,<br />
seperti penyelundupan BBM bersubsidi ke luar negeri,<br />
penyedotan minyak di tengah laut dan lain-lain yang<br />
cukup merepotkan Widya dan jajarannya, hilang begitu<br />
saja. Tak ada penyelidikan, apalagi penyidikan terhadap<br />
kasus-kasus yang merugikan Negara puluhan triliun itu. Di<br />
sisi lain ada masalah baru timbul yang nantinya akan<br />
berakibat jangka panjang. Sebab dijegalnya Pertamina<br />
untuk mengelola sendiri blok Cepu, telah menutup peluang<br />
BUMN minyak itu menjadi perusahaan pertambangan<br />
minhyak dan gas kelas dunia. Rupanya meski telah<br />
mendapat kepercayaan penuh dari rakyat, pemerintah tak<br />
cukup punya kepercayaan diri un tuk menangkal tekanan<br />
sang juragan AS . Tekanan itu sudah berlagsung sejak<br />
masa pemerintahan Abdurrahman Wahid-Megawati Soekarno<br />
Putri dan berlangsung terus sampai ke zaman<br />
Mega-Hamzah, tapi tak berhasil melunakkan hati pemerintah,<br />
meski Duta Besar AS Ralph L Boice ikut campur.<br />
Amien Rais, Ketua MPR waktu itu sampai berteriak agar<br />
pemerintah AS menghormati kedaulatan RI untuk mengambil<br />
keputusan sendiri soal blok Cepu.<br />
Exxon baru berhasil mendapatkan keinginannya justru<br />
ketika <strong>Indonesia</strong> berada di tangan presiden dan<br />
wapres yang dipilih langsung oleh rakyatnya. Wakil rakyat<br />
di DPR/MPR nampaknya tak terlampau peduli lagi atau<br />
sibuk memikirkan berbagai tunjangan yang mungkin bisa<br />
didapat dengan cara diam.<br />
Padahal sebelum itu pemerintah dan wakil rakyat<br />
sedikit banyak lebih bisa menjadikan kepentingan bangsa<br />
sebagai pijakan. Tak heran bila dua kabinet sebelumnya<br />
cenderung memberi kesempatan kepada Pertamina untuk<br />
membuktikan kemampuannya. Gesekan dengan para<br />
pendukung ekonomi neo liberal di dalam pemerintahan<br />
memang terjadi, tapi masih dapat diatasi. Waktu itu<br />
Baihaki Hakim misalnya, dan Dirut-dirut Pertamina<br />
selanjutnya sampai Widya Purnama, berhasil meyakinkan<br />
pemerintah bahwa dengan pengalamannya yang panjang<br />
dan perhitungan deposit minyak berlimpah (sekitar 1,4<br />
miliar barel) dan gas sekitar 8,772 triliun kaki kubik, bila<br />
diberi kesempatan mengelola sendiri, maka keuntungannya<br />
akan jauh lebih besar bagi negara . Argumentasi itu<br />
kandas di masa SBY-JK. Kontrak yang mestinya berakhir<br />
2010 itu diperpanjang 20 tahun terhitung mulai