Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia
Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia - Biar sejarah yang bicara
Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia - Biar sejarah yang bicara
- No tags were found...
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
kemelut politik pasca Soeharto.<br />
Kemelut di MKGR boleh dibilang hanyalah riak kecil di<br />
panggung politik <strong>Indonesia</strong> pasca Soeharto. Gelombang<br />
pasangnya justru ada di golkar. Lihat saja bagaimana<br />
serunya perseteruan di tubuh partai itu. Harmoko, sang<br />
Ketua Umum yang dulu dipuji-puji karena berhasil<br />
memenangkan golkar sampai merebut lebih 70% suara,<br />
dikecam sebagai orang yang menjerumuskan Golkar dan<br />
Soeharto. Pada 3 Juni 1998 dia diminta mundur oleh 8<br />
pimpinan DPD Golkar. Kemudian 23 DPD (Dewan Pimpinan<br />
Daerah) berhasil memaksakan musyawarah luar biasa<br />
(munaslub) lebih cepat dari jadwal semula (Oktober 1998)<br />
menjadi 9 - 11 Juli 1998.<br />
Lebih heboh lagi ketika mau membentuk panitia<br />
munaslub . Golkar, yang tidak biasa konflik, malah menunjukkan<br />
potensi konflik kepentigan yang besar. Anehnya,<br />
jika kaum reformis di panggung politik <strong>Indonesia</strong> berhasil<br />
menurunkan Soeharto, di Golkar justru kubu Soehartois<br />
menang. Tanda- tandanya terlihat ketika kubu Soehartois<br />
berhasil memborong kepanitiaan munaslub : Ary Mardjono,<br />
yang dikenal dekat dengan mba Tutut, terpilih sebagai<br />
Ketua Steering Commitee (panitia pengarah) ; Aulia<br />
Rahman, yang dikenal sebagai 'ketua tim ajudan Tutut,<br />
menjadi Ketua organizing commitee; dan Waskito<br />
Reksohadiprodjo, juga orang dekat Cendana, menjadi<br />
Ketua penyelenggara . Mereka berhasil mengalahkan Kubu<br />
Harmoko yang mulai kehilangan petunjuk.<br />
Pada hari-hari berikutnya terlihat perpecahan di tubuh<br />
Golkar makin parah. "Suka atau tidak suka harus saya<br />
akui, ini memang kemelut paling parah dan mengkhawatirkan<br />
dalam sejarah Golkar," ka ta Ketua Umum PP<br />
Kosgoro Drs. Bambang W. Soeharto terus terang waktu<br />
itu ketika ditemui penulis untuk majalah SWA. Dia memang<br />
tidak mengada-ada. Tidak butuh analisis politik ngjelimet<br />
untuk mengetahuinya. Dengan pandangan kritis saja terhadap<br />
kiprah mereka yang terlibat, dapat diketahui di<br />
Golkar saat itu ada beberapa kubu saling berhadapan.<br />
Pertama, Kubu Harmoko-Gafur yang didukung Habibie.<br />
Mereka In! mencalonkan Mensesneg Akbar Tanjung<br />
sebagai Ketua Umum (ketum) Golkar. Di hadapan mereka<br />
berdiri kubu status quo yang didukung Cendana.<br />
Lalu dari kiprah dan pernyataan mereka di media<br />
massa terlihat di kubu status quo ada dua kelompok:<br />
pertama yang berhubungan langsung dengan Soeharto,<br />
dan yang tidak berhubungan dengan mantan presiden itu.<br />
Di kelompok yang berhubungan langsung ada mantan<br />
Wapres dan Ketum Golkar Sudharmono, dan pini-sepuh<br />
Soksi dan dukun politik Suhardiman. Putra-putri Soeharto:<br />
mba Tutut dan Bambang Trihatmodjo, dan putra pak Dhar<br />
sendiri, Tantyo Adji Pramudyo Sudharmono masuk di<br />
gerbong itu. Di gerbong yang tidak berhubungan langsung<br />
dengan Soeharto berdiri mantan Menhankam Edi<br />
Sudradjat. Dia didukung mantan wapres Tri Sutrisno<br />
(ketua Pepabri), dan 21 DPD Golkar yang berasal dari jalur<br />
A (Abri).<br />
Di samping itu masih ada kelompok lain, seperti<br />
Harsudiono Hartas (mantan kassospol Abri) bersama<br />
mantan wakasad Soerjadi, Ketua Yayasan Kerukunan<br />
Persaudaraan Kebangsaan Bambang Triantoro dan Theo<br />
Syafei dkk. Yang terakhir itu kemudian hengkang ke PDIP<br />
dan menjadi orang kuat yang mendampingi Megawati. Di<br />
luar itu ada kelompok 45 agak kri tis: Kemal Idris, Soerono,<br />
Hasnan Habib, Rudini, dan Ali Sadikin. Wahono, mantan<br />
Ketua DPP Golkar dan Ketua DPR/MPR periode sebelum-