Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia
Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia - Biar sejarah yang bicara
Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia - Biar sejarah yang bicara
- No tags were found...
You also want an ePaper? Increase the reach of your titles
YUMPU automatically turns print PDFs into web optimized ePapers that Google loves.
sistem penggajian baru.<br />
Berdasarkan cara masuknya ke bursa tenaga kerja di<br />
<strong>Indonesia</strong>, sebenarnya mereka terbagi dalam 3 golongan.<br />
Atau kalau mau sedikit ilmiah, setidaknya bisa disebut ada<br />
3 alasan yang mendorong dunia bisnis di tanah air mendatangkan<br />
bule dan tenaga kerja asing (TKA) lain.<br />
Pertama, kebutuhan perusahaan untuk memperluas pasar<br />
ke manca negara, sekaligus untuk mendekati sumbersumber<br />
pembiayaan internasional. Ini adalah pertimbangan<br />
paling rasional dan bagus, sebab si asing dijadikan<br />
tenaga handal untuk kepen- tingan perusahaan. Tentu di<br />
slnl mereka harus bisa menunjukkan prestasi dan<br />
kepiawaiannya, bukan sekadar bekerja dengan bayaran<br />
tinggi. Kedua, cuma sekadar latah atau menganggap<br />
kehadiran bule di perusahaan sebagai lambang bonafiditas.<br />
Di perusahaan semacam ini si bule jelas bisa jadi<br />
raja tanpa harus menunjukkan prestasi berarti yang<br />
menguntungkan perusahaan.<br />
Ketiga, karena tekanan. Ini biasanya terkait dengan<br />
pemberian bantuan atau pinjaman dari lembaga-Iembaga<br />
donor (kreditor) internasional, seperti IMF, Bank Dunia,<br />
Consultative Group on <strong>Indonesia</strong> (CGI), dan lain-lain.<br />
Yang terakhir ini boleh dibilang merupakan kelanjutan dari<br />
penjajahan, di mana <strong>Indonesia</strong> dipaksa untuk menghargai<br />
ekspatriat lebih tinggi dari pribumi. Tidak jarang lembagalembaga<br />
internasional itu meminta pemerintah untuk<br />
menggunakan produk atau jasa perusahaan-perusahaan<br />
asing tertentu. Ini jelas sulit ditolak pemerintah, karena<br />
berkaitan dengan pinjaman yang biasa diperhalus menjadi<br />
bantuan.<br />
Dengan dasar pemikiran seperti itu, dapat dimaklumi<br />
bila banyak perusahaan doyan mempekerjakan expatriat.<br />
Padahal gaji dan fasilitas yang harus diberikan perusahaan<br />
kepada mereka bisa 4-5 kali lebih besar daripada tenaga<br />
lokal dengan keahlian dan pengalaman setara. Hal ini<br />
menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan tenaga lokal.<br />
Untungnya perasaan cemburu itu tidak sampai berubah<br />
menjadi aksi massa, seperti yang terjadi di Jerman<br />
menjelang jebolnya Tembok Berlin. Itu sebabnya <strong>Indonesia</strong><br />
tetap menjadi surga buat TKA yang amat 'dibutuhkan'<br />
itu. Apalagi perusahaan juga cukup punya dana<br />
untuk membayar mereka. Maklum ekonomi <strong>Indonesia</strong><br />
sepuluh tahun terakhir tumbuh di atas 7%/tahun,<br />
sumber- sumber dana asing dengan senang hati dan royal<br />
memberi utangan. Tak jarang si mitra asing sengaja<br />
mendorong agar perusahaan mempekerjakan expatriat<br />
atas beberapa pertimbangan.<br />
Cuma ketika krisis datang menerjang dan ra tusan<br />
perusahaan <strong>Indonesia</strong> tersungkur, keadaan berubah 180<br />
derajat. Manajemen perusahaan terpaksa mengkaji ulang<br />
kebutuhan mereka akan tenaga asing. Ini dapat dimaklumi<br />
sebab kehadiran tenaga asing yang banyak itu, ternyata<br />
tak mampu menyelamatkan perusahaan dari krisis. Mau<br />
tak mau kini kehadiran tenaga asing mesti dikaitkan<br />
lang sung dengan kebutuhan real perusahaan dan biaya .<br />
Bahkan kepada tenaga expatriat yang benar- benar<br />
dibutuhkan pun terpaksa diadakan negosiasi ulang soal<br />
bayaran. Maklum bila mereka harus dibayar dengan<br />
patokan kurs yang sedang berlaku, perusahaan bisa mati.<br />
PT . Aspac Inti Corpora (Aspac) adalah satu di antara<br />
sekian banyak perusahaan yang melakukan terobosan<br />
kreatif seperti itu. "Meskipun kami tidak terlalu terpukul<br />
oleh meroketnya dolar dan harga-harga, toh kami harus<br />
melakukan penghematan secara interen, antara lain