Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia
Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia - Biar sejarah yang bicara
Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia - Biar sejarah yang bicara
- No tags were found...
Create successful ePaper yourself
Turn your PDF publications into a flip-book with our unique Google optimized e-Paper software.
kerakyatan kemudian ditampilkan sebagai momok anti<br />
pengusaha besar (konglomerat), anti pasar, dan sebagainya.<br />
Bahkan pengamat dari mancanegara menggelari<br />
Adi sebagai Robin Hood <strong>Indonesia</strong>. Yang ini hendaknya<br />
dianggap sebagai pujian, sebab di negara-negara barat<br />
tokoh Robin Hood tak pernah dinilai negatif.<br />
Namun menurut Ani, pakar ekonomi dari FE-UI yang<br />
paling Ian tang mengkritik ekonomi kerakyatanan, seharusnya<br />
pemerintah membenahi usaha hulunya dulu yang<br />
justru bersifat jangka panjang. Semua itu tidak hanya<br />
bisa diselesaikan dengan pemberian kredit atau dengan<br />
redistribusi aset. Semuanya harus dibenahi mulai dari<br />
sektor hulu melalui program perbaikan manajemen, pendidikan,<br />
kesehatan, dan lain-lain yang bersifat peningkatan<br />
kualitas sumberdaya. Ani sendiri nampaknya tidak konsekwen<br />
dengan ucapannya sendiri. Ini terlihat terutama<br />
ketika dia berada di birokrasi pemerintahan sebagai<br />
menteri keuangan. Ekonom UI ini tak bersedia meningkatkan<br />
anggaran pendidikan sesuai Ketetapan MPR, yaitu<br />
20% dari total APBN. Seperti diketahui APBN 2006 cuma<br />
mengalokasikan Rp 34 triliun (tak sampai 9%) buat<br />
pendidikan. Ini jauh di bawah alokasi anggaran pembayaran<br />
utang dalam dan luar negeri ditambah bunganya yang<br />
mencapai Rp 140,22 triliun pada tahun sama.<br />
Sebagai ekonom yang pernah berteriak lantang soal<br />
peningkatan sumber daya manusia <strong>Indonesia</strong>, mestinya<br />
Ani lebih berani menganggarkan setidaknya Rp 140,22<br />
triliun untuk pendidikan dan mengupayakan pemotongan<br />
utang sehingga cukup dianggarkan Rp 34 triliun saja. Ani<br />
khawatir program ekonomi kerakyatan Menkop/PKM waktu<br />
itu tidak berkesinam-bungan, karena yang dicari cuma<br />
popularitas politik. Kini setelah dia menjadi menteri orang<br />
menuduh bu menkeu cuma mencari muka pada IMF.<br />
Menkop/PKM sendiri ketika diserang Ani seperti itu cuma<br />
bilang: "Kalau membela rakyat itu mesti ada muatan<br />
politis. Kalau kita memperbaiki arloji atau berobat ke luar<br />
negeri, itu tidak politis. Jadi semua tindakan untuk<br />
membantu rakyat mesti ada muatan politisnya?" ka ta Adi<br />
retoris.<br />
Berbeda dari para pengamat ekonomi neo liberal<br />
yang terang- terangan menentang Adi, reaksi dunia usaha<br />
terhadap sepak terjang dan tindakan Menkop/PKM<br />
kelihatan hati-hati, bila tak mau dibilang bimbang.<br />
"Selama ekonomi kerakyatan itu tidak memindahkan<br />
konsesi dari suatu golongan ke golongan lain dengan<br />
asumsi apa pun, maka itu harus diterima dengan lapang<br />
dada," jawab Rizka Baily, Direktur Investment Management<br />
PT Citicorp Securities <strong>Indonesia</strong>, diploma tis ketika<br />
ditanya tentang ekonomi kerakyatannya Menkop/PKM.<br />
"Masalahnya apakah ekonomi kerakyatan sekarang ini<br />
akan dikembangkan ke arah sana? Bagi investor asing<br />
yang masuk melalui capital marke t, yang paling baik<br />
adalah sistem ekonomi pasar," tambahnya. "Kalau dengan<br />
program itu ternyata perekonomian <strong>Indonesia</strong> menjadi<br />
stabil, dan pertumbuhannya menjadi tinggi seperti sebelum<br />
krisis, maka efeknya akan bagus. Para investor akan<br />
lebih convertible menanam modal di <strong>Indonesia</strong>, khususnya<br />
melalui Citicorp. Namun bila yang terjadi sebaliknya, maka<br />
mereka akan merasa terancam dan mung kin pergi dari<br />
sini. Sikap kita sekarang cuma wait and see saja,"<br />
sambungnya panjang.<br />
Tanggapan senada juga disampaikan Franky yang<br />
juga direktur Indofood Sukses Makmur (ISM) . "Saya<br />
percaya bahwa program ekonomi kerakyatan itu intinya